Menurut Anda, apakah Gus Dur pantas dianugerahi gelar Pahlawan Nasional?

Powered By Blogger

WELCOME TO ADI SANJAYA BLOG

Mari Kita Berpetualang Melewati Ruang dan Waktu Melalui Sebuah Pesona Perlawatan Sejarah

Rabu, 21 Oktober 2009

PENGEMBANGAN WISATA NYEGARA-GUNUNG: MENYUGUHKAN WARISAN BUDAYA UNIK DAERAH BALI UTARA

PENGEMBANGAN WISATA NYEGARA-GUNUNG:

MENYUGUHKAN WARISAN BUDAYA UNIK

DAERAH BALI UTARA

Oleh

Drs. I Made Pageh, M.Hum.

Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha

Makalah Disampaikan dalam Seminar

Pengembangan Wawasan Konsep Nyegara Gunung

Kepada Para Guide dan Pelaku Pariwisata di Daerah Bali Utara

Rabu, 20 Mei 2009 di Gedung Seminar Undiksha

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA

2009

PENGEMBANGAN WISATA NYEGARA-GUNUNG:

MENYUGUHKAN WARISAN BUDAYA UNIK DAERAH BALI UTARA

1. Pendahuluan

Tulisan ini merupakan sari dari beberapa hasil penelitian yang penulis pernah lakukan tahun-tahun sebelumnya, terkait dengan warisan budaya daerah Bali Utara. Nampaknya sangat menarik untuk diketahui terkait dengan memberikan informasi pada turis oleh pemandu wisata dan pelaku wisata di Bali Utara. Data akurat banyak telah terkumpul, hanya saja untuk menjadikannya sebagai sebuah paket wisata budaya dan sejarah yang menarik membutuhkan bantuan dari pelaku wisata untuk memperkenalkan dan menjelaskannya, kalau mungkin terutama untuk mengembangkannya menjadi paket-paket wisata alam dan budaya.

Sehubungan dengan itu Mahasiswa di bawah bimbingan penulis mengadakan pengabdian pada masyarakat (pelaku wisata) untuk memasyarakatkan beberapa hal menarik untuk diketahui untuk dapat dijual pada pelancong ke daerah Buleleng yang sangat kita cintai. Dengan memberikan pemahaman holistik obyek wisata yang terkait bagian bawah (sagara) dengan bagaian atas (gunung). Sesuai dengan konsep Rwa-Bhineda yang menjadi ideologi masyarakat Bali sejak jaman kerajaan Bali Kuno.

Makalah kami kerjakan berdua (1) menyangkut pengembangan wisata alam yang mencoba menggali objek wisata alam yang sangat menarik di Bali Utara; (2) Menyuguhkan obyek wisata budaya Nyegara-Gunung dengan melihat budayanya (termasuk beberapapeninggalan sejarahnya) yang menarik untuk diketahui dan dikembangkan ke depan. Bagian 2 adalah tugas yang diberikan pada penulis untuk memberikan gambaran secara umum yang dapat dijelaskan dengan konsep nyegara-gunungnya.

  1. Menjelaskan Keadaan Topografis Bali Utara

Topografi Buleleng, seperti yang dijelaskan oleh Grader (1930-an) dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu Buleleng Barat, Buleleng Tengah, dan Buleleng Timur. Setting geografis Buleleng sangat penting dipahami lebih mendetail, terutama tentang potensi sosial-budayanya (pariwisata budaya) untuk dapat dijelaskan dan atau dikembangkan.

2.1 Buleleng Barat

Buleleng Barat merupakan daerah bergunung-gunung dan kering. Daerahnya mulai dari kaki Gunung Kutul membentang mendekati pantai sampai di daerah Pengastulan ke barat, berupa daerah kering. Diakhiri dengan daerah semenanjung Perapat Agung yang terdiri dari batu kapur. Garis pemisah dibentuk oleh jalur rata yang sempit sekitar 7 km, yang menghubungkan Teluk Gilimanuk dengan Teluk Terima.

Di sana-sini timbul batu karang ke permukaan ... terlihat dengan jelas batas pantai di zaman dahulu. Konon tanah genting yang sekarang menghubungkan Perapat Agung dengan Bali tersebut pada waktu meletusnya Gunung Tambora tahun 1815, tetapi di peta yang dibuat oleh Raffles zaman itu, garis pantai adalah sepenuhnya sama dengan apa yang ada sekarang. Tetapi, De Houtman menggambarkan Perapat Agung sebagai daerah tersendiri.[1]

Satu satunya sungai yang cukup air adalah sungai Yeh Poh, yang mengairi daerah pertanian erfpacht. Di Buleleng Barat sangat sedikit ditemukan sawah, yaitu hanya di daerah bagian timur Gerokgak. Sedangkan, di sebelah barat daerah ini terdapat banyak hutan perdu dan selanjutnya daerah tanah gundul di kaki Gunung Pulaki. Sebagian besar derah Buleleng Barat adalah daerah yang kering. Saat Angin Tenggara tiba bersamaan dengan musim hujan, air yang ditumpahkannya, jatuh di sungai-sungai yang ada di lereng selatan (gunung di daerah Tabanan). Di sepanjang pantai barat ditumbuhi oleh stepa dan sabana, seperti pohon lontar dan gebang, pohon khas Bali Barat. Pada musim kemarau tiba, semak-semak dan padang rumput itu menjadi kering, sehingga sering memunculkan bencana kebakaran di Taman Nasional Bali Barat itu.

2.2 Buleleng Tengah

Bermula dari barat, yaitu Pengastulan dan berakhir di Kubutambahan. Sepanjang pantai daerah Buleleng Tengah tampak persawahan. Daerah Bubunan dan Banjar termasuk daerah yang subur. Di daerah ini sawah dapat dibuat sampai agak jauh masuk ke pedalaman hingga ketinggian seribu meter. Sedikit di sebelah timur Banjar, ada gunung karang yang mendekati pantai. Dahulu, di daerah itu ditemukan rawa-rawa di dekat daerah Temukus, Labuhan Haji, dan Bunut Panggang. Di sinilah terdapat bekas Pelabuhan Alam Temukus yang dapat menampung kapal-kapal besar tidak terlalu jauh dari tepi pantai. Jalur pantai ini ke timur melebar lagi dari daerah Panji ke timurlaut, sehingga memungkinkan pembuatan sawah atau irigasi sampai 500-600 meter di atas laut, seperti di daerah Sukasada, Jineng Dalem, Sudaji, dan Sawan.[2] Daerah Buleleng Tengah merupakan satu-satunya daerah yang subur dan berlimpah air kalau dibandingkan dengan daerah Buleleng lainnya yang memiliki daerah kritis dan kering.

2.3 Buleleng Timur

Di dekat Kubutambahan sudah tidak dapat diairi lagi, terutama dari daerah Bukti sampai ke daerah Pacung. Karena tanahnya tandus dan tidak cukup tersedia sumber air, daerah pantainya berupa batu karang dengan abrasi laut yang mengenaskan. Pemandangan daerah berkarang ini sampai ke daerah perbatasan dengan Karangasem di timur. Di sini orang mengatakan terjadi titik balik daerah Buleleng Barat, karena daerah ini memiliki beberapa kesamaan dengan daerah Buleleng Barat yang gersang dan tandus.[3]

Daerah Buleleng membentang di Pantai Utara Bali, memiliki keadaan iklim yang berada pada daerah bayang-bayang hujan. Maksudnya pada musim hujan terutama pada angin musim timur, hujan sering lebih dahulu jatuh di daerah pegunungan di bagian selatannya, sehingga tidak sampai di atas “bumi panas” ini. Melihat kondisi seperti itu, nampaknya tidak salah, kalau dalam tulisan ini, dirujuk penggolongan geografis Clifford Geertz (1971) yang menggolongkan Bali Utara ke dalam daerah Indonesia luar, sedangkan Bali Selatan termasuk daerah Indonesia dalam.[4]

3. Beberapa Potensi Daerah Buleleng

3.1 Potensi Daerah Pantainya

Dari uraian di atas dapat dipahami potensi daerah Bali Utara adalah pertanian kering dan perdagangan pantai. Banyak bebukitan, air terjum walaupun kini telah banyak airnya menyusut, view laut, teluk dan daerah pepohonan pantai seperti kelapa dan lontar. Daerahnya memiliki kesan tersendiri, memberikan kemungkinan untuk menikmati alam secara utuh.

Potensi lautnya sangat besar peranannya dalam kehidupan ekonomi masyarakat yaitu untuk pertanian sumber daya laut (menangkap ikan, dll.), perdagangan, dan wisata bahari. Potensi ini memberikan dua kemungkinan hidup makmur kalau dimanfaatkan sumber daya laut dan pertaniannya, dan atau kemandegan atau kematian karena kita tidak memanfaatkannya.

Dalam Pariwisata daerah pantai dapat dikembangkan pariwisata bahari, seperti: pemandangan alam pantai, melihat Dolfin, wisata makanan ikan laut, berlayar, menacing, selancar, dsb.

Pelayaran pantai (kapal pesiar lokal/nusantara), menghubungkan antarpelabuhan pantai di Bali Utara dan Bali lainnya. Membutuhkan visi dan missi yang jelas dikaitkan dengan konteks nyegara-gunung-nya. Akan diuraikan di bawah lebih mendetail.

3.2 Potensi Daerah Pegunungannya (Hinterlands)

Sedangkan daerah belakangnya (hinterlands-nya) sangat potensial menghasilkan berbagai barang komoditas pertanian, seperti:

· Penghasilan kopi, , kelapa, lontar (gula, nira, daun lontar), enau (nira/gula merah), cengkeh, dan tanaman lokal lainnya.

· Buah-buahan, seperti salak (gula pasir), duren (Bestala, sudaji, sepang, dll.), manggis, ceroring jeruk, pisang, pinang, jagung, buah lokal Tuwung Baka, Gunggung, buah Pohon Besar dan buah lainnya.

· Bunga berneka warna, Angrek lokal, berbagai jenis paku/pakis dan simbah; sayur-sayuran (paku, jamur, kara, ares, nagka, rebung, embut penyalin, dll.) dan umbi-umbian (ketela pohon, ketela rambat, gadung, suweg, dsb.)

· Dan hal lain yang menarik mungkin memperkenalkan makanan serangga seperti: nyawan, tawon, sebatah, jangkrik, sebatah; blauk, klipes, lindung, dsb. Tentu sekali-kali Guling Babi, kambing guling, kelinci guling, sapi panggang, dsb. Kemasannya bisa lawar, urutan, panggang, timbung dsb.

Potensi alam hinterlands ini diperkenalkan, dengan paket alam yang menarik dan menantang. Butuh waktu agak lama untuk melihat proses menanamnya, proses memasaknya, proses memakannya, dan cara menikmatinya. Termasuk menyadap nira (kelapa, ental, jaka), proses menjadikan gula, tuwak, dan selanjutnya menjadikannya jajan dengan bahan umbi-umbian lokal dan sebagainya. Tentu yang tidak ditemukan di daerah wisata lainnya, dengan demikian pengalaman baru bagi seorang turis petualang yang hidup dalam suguhan rutinitas akan sangat tertarik dengan hal yang menurut kita biasa dan tidak menarik. Pengalam barunya itulah yang dapat dijual mahal.

Melihat petani naik pohon, nunu sela, numbeg, ngarit, seperti apa adanya (aimitasi) memberikan kesan tersendiri. Ngalih sebatah, ngejuk lindung, ngalap nyawan, ngalih ancruk dan sebagainya. Membuat jukut paku, embung, ares dan sebagainya adalah tontonan, dan cerita menarik di negerinya nantinya, karena sangat beda dengan pengalaman temannya yang lain. Apa lagi bagi mereka sangat menjijikkan (makan sebatah misalnya), tetapi biasa saja bagi kita, dengan perbedaan budaya dan persepsi tentang makanan berbeda, menjadikannya cerita menarik dan memberikan kekaguman tersendiri bagi turis asing.

Sedangkan peternakan sapi, babi, kambing, kelinci, ayam buras, dan sebagainya. Sapi Bali (Bos Bibos/Bos Sondaicus), sudah terkenal sejak tahun 1930-an.[5] Hasil ternak yang diekspor demikian besarnya sebagian besar merupakan usaha ternak rakyat, bahkan diperkirakan sudah dipelihara sejak zaman prasejarah.[6] Walau pun sapi ini memiliki kelemahan, yaitu peka terhadap penyakit ingusan (malignant catarhal fever) dan penyakit mukosal (mucosal disease).[7] Tapi pamornya untuk diperkenalkan pada tamu asing, sebagai tenaga kerja (metekap), sapi grumbungan, pejantan, berbagai jenisnya trutama dikaitkan dengan makna, fungsi dan makna sapi bagi orang Bali dikaitkan dengan kepercayaan sangat mengagumkab jika dapat dipahami dengan baik.

Ternak Babi Bali tergolong ke dalam tipe babi Cina, dengan ciri-ciri; punggungnya melengkung, perutnya secara umum menyentuh tanah, berwarna hitam-putih, dengan banyak lipatan di perutnya dan telinganya kecil. Pada umur satu minggu memiliki berat rata-rata 0,6 kg, dengan bobot sapih 4,7 kg dengan rata-rata berat waktu dipotong 70-100 kg. Pemeliharaan babi di Bali seperti disinggung di atas sebagian besar dilakukan tidak secara mengkhusus, dipelihara dengan menggunakan limbah dapur sebagai pakannya. Beberapa limbah yang dimaksud adalah sisa-sisa makanan, dedak, bungkil kelapa, daun-daun kubis, batang talas, batang pisang, dan sebagainya.[8] Vink (1984) menyebutkan sebagai berikut di bawah ini.

Hampir setiap keluarga di Bali memelihara babi, setiap tahun diekspor ke Singapura dan ke tempat lain, daerah lain yang juga banyak dikatakan menghasilkan babi adalah daerah Toraja dan pada orang-orang Batak”. Sedangkan petani-petani Cina di Jawa disebutkan... di Tanggrang, Mank dan Balaraja (Jawa Barat) dengan pemasaran ke Batavia, sebagian besar orang Cina pada tahun 1932 memiliki kurang lebih 15 ekor babi, tetapi di antara mereka juga ada yang memiliki lebih dari 200 ekor, seorang lagi 100 ekor dan seorang lagi 80 ekor.[9]

Kalau dilihat dari sejarahnya, babi merupakan bagian tidak dapat dilepaskan dari pecelengan orang Bali. Dapat diuangkan setiap saat. Demikian juga tiap upacara membutuhkan Babi, sehingga uang dalam punya gawe dapat diirit dalam pembelian babi. Mitos babi (babi hutan terutama) terkait dengan masyarakat agraris, mitos babi kalung (rante babi), babi dijadikan barong, dan sebagainya perlu diketahui oleh seorang pemandu dan pengembang pariwisata.

Potensi jenis kerajinan rumah tangga dapat dibedakan berdasarkan bahan yang dipergunakan, seperti kerajinan besi, gong, perak dan emas, kayu, tanah, daun lontar dan sebagainya. Sehubungan dengan hal ini ada beberapa sumber yang dapat ditemukan, seperti misalnya disebutkan adanya kerajinan gong yang dilakukan oleh Pande Wesi dan Pande Ngagandring di daerah Buleleng Timur (Sawan), kerajinan perak di Beratan (Pande Ngagaluh),[10] dan juga beberapa kerajinan tenum di Buleleng Tengah dan Barat.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa kain Bali, telah diperdagangkan ke luar daerah, jauh sebelum kedatangan Belanda di daerah ini. Seperti dalam disertasinya Sutjipto (1983) menyebutkan tentang kain tenun Bali sebagai berikut.

... pedagang-pedagang Jawa berdagang lebih dulu di Bali sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Banda dan Seram. “Cayn Belly” katanya sangat laku di Banda, karena sangat cocok dipakai untuk rakyat umum di sana; kain Bali yang diangkut ke Banda mencapai jumlah 100 “corges” (corges/kodi/20 potong) atau lebih.[11]

Scrieke juga menyebutkan tentang perdagangan kain itu sebagai berikut.

...the pepper not needed for home consumtion then served for export to Bali, where it was exchanged for the Balinese cotton pabrics so much in demand in the Moluccas with these, gold and silver jewelry, smaller coins, the silk and cotton cloth brought to Java by Chinese and the Indian,Chinese porselin, and rice (also erom Bima), the traders them purchased cloves (cengkih) and nutmeg (pala) on Banda in Moluccas, and...sandal wood, wax (lilin) on Timor the traders the parang ....[12]

Dalam hubungan dengan perdagangan pulau-pulau luar Jawa, dalam tulisan Stein Berg (1971), disebutkan kegiatan politik pinggiran (pherifery) seperti Bali, berdagang ke Singapura, sampai adanya ekspedisi Belanda ke Bali tahun 1849. Sebagai tambahan, disebutkan pula bahwa, produksi kain di Asia Tenggara sangat sedikit, seperti di Bali kain dibuat pada sekelompok keluarga di desa, seperti halnya yang ada di Vietnam dan Thayland. Dua daerah itu memiliki gejala yang hampir sama dengan di Bali.[13]

Apa yang disebut Berg tersebut, dapat ditemukan dalam uraian Grader disebutkan bahwa sampai tahun 1930-an, masih banyak ditemukan penduduk membuat kain dengan menggunakan benang ikatan lokal. Seperti misalnya kain tenun Sembiran memiliki ciri daerah yang unik. Tetapi dengan adanya impor kain katun berwarna mengakibatkan pertenunan Sembiran itu menjadi merosot, karena harga kain katun buatan pabrik dari luar itu, jauh lebih murah harganya dibandingkan dengan kain yang dikerjakan menggunakan cagcag di Sembiran itu. Disebutkan juga oleh Grader daerah-daerah yang banyak menghasilkan kain adalah daerah Penarukan, Jinengdalem, Pengastulan. Di daerah itu ditemukan banyak pedagang Islam yang banyak mengadakan kemitraan dengan desa-desa sekitarnya dalam pengadaan kain tenun untuk diekspor ke Jawa. Pedagang itu memberikan bahan-bahannya seperti benang dan pewarna, sedangkan penduduk mengerjakan di rumah masing-masing, untuk mengisi waktu senggangnya sehingga menjadi semacam home industry.

Di Beratan dan Banjar banyak ditenun kain Songket (kain tenun dengan benang emas di dalamnya), tenun ikat (bernama Endek) harganya jauh lebih mahal kalau dibandingkan dengan kain Samarinda (Debel) yang datang dari luar. Ada lagi jenis kain prada, tahun 1920-an dibuat di banyak tempat, sedangkan pada tahun 1940-an hanya masih dikerjakan di Bungkulan. Kain model ini, banyak digunakan untuk kebutuhan keagamaan. Di daerah Bungkulan, juga terkenal sebagai daerah sangging penjual manara kremasi (Wadah), yang dipergunakan pembakaran mayat dalam upacara ngaben di Bali.[14]

Industri rumah tangga lainnya yang banyak dikerjakan oleh masyarakat adalah industri kerajinan anyaman bambu, tali ikal bambu untuk sapi, sapu ijuk, dan sebagainya. Sidatapa dan Tigawasa, Cempaga, Pedawa di daerah distrik Banjar merupakan pusat utama kerajinan bambu pada saat itu. Di daerah Sangket banyak orang membuat anyaman bakul dan besek yang dipergunakan untuk memetik kopi, kini banyak memproduksi untuk wisata. Pengrajin dalam menjual barang dagangannya, keliling ke daerah-daerah penghasil kopi di lain desa, bahkan ada sampai ke daerah Gobleg, Munduk, Gesing, pemasarannya, yang dijajagkan dari rumah ke rumah. Para penjual seperti ini, disebut pedagang pengalu, barang dagangannya tidak sejenis, dia membawa barang dagangan seberapa mereka mampu memikul.

Kerajinan tikar lontar banyak dihasilkan di daerah Sambirenteng di Buleleng Timur. Tikar itu mendapat saingan dari tikar luar yaitu tikar Raas- Madura, yang terkenal halus dan lembut, karena dibuat dari daun pandan berwarna putih dan bahan anyamannya kecil-kecil dan halus. Sedangkan tikar lontar sangat kaku dan keras, tidak cocok untuk alas tidur. Kerajinan tanah liat banyak didapatkan di Banyuning, juga kalah bersaing dengan barang-barang gerabah buatan Kapal dari Bali Selatan, terutama Gentong daerah Kapal sangat terkenal halus pengerjaannya.

Barang lain adalah kain. Pedagang Pengalu itu terkenal dengan sebutan pedagang mijil-mijil (door to door pedllers).[15] Pedagang ini banyak sekali berperan dalam memebuhi kebutuhan sandang masyarakat pedesaan. Penjualannya terkadang dengan sistem barter, mindring atau cicilan.

3.1 Sarana Fisik Pendukung Perdagangan

Sarana transportasi seperti pelabuhan laut dan jalan adalah sangat penting untuk mendukung perdagangan, karena barang-barang dagangan dari daerah pedalaman memerlukan jalan-jalan darat sebagai penghubungnya. Sedangkan untuk perdagangan antarpulau, maka pelabuhan laut yang lebih berperanan adanya.

A. Lalu-Lintas Darat

Jaringan perhubungan darat sebelum Buleleng dikuasai oleh Belanda belum banyak ditemukan badan jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan. Jalan-jalan penghubung kota kerajaan dengan daerah kepunggawaan dan juga dengan desa-desa di daerah pedalaman, masih berupa jalan setapak. Jalan-jalan ini sangat baik dikembangkan menjadi jalan traking, atau haiking, atau napak tilas.

Belanda mulai merintis jalan-jalan untuk memperlancar roda pemerintahan dan perekonomian, baik dengan usaha memperlebar jalan-jalan yang telah ada, maupun dengan membuka jalan baru. Hubungan ke luar sebagian besar dilakukan lewat lintas laut, sampai tahun 1900-an. Belum ditemukan adanya berita pembuatan jalan raya dan juga rodi pembuatan jalam sebelum tahun itu. Setelah tahun 1900-an baru ditemukan adanya masalah-masalah pengerahan tenaga rodi menyangkut pembuatan jalan darat di Bali Utara, terutama pengerjaan jalan Singaraja-Bedugul-Denpasar.

Jalan Pengastulan ke kota dan jalan Tejakula ke kota dibuka tahun 1917, melintas pelabuhan Temukus, Buleleng dan Sangsit, demikian juga jembatan mulai dibangun tahun 1917-an. Seperti jembatan di atas Sungai Banyuraras, lintas jalan dari Singaraja ke Celukan Bawang, mulai diperbaiki pula. Di atas tukad Yeh Lalang dekat Tejakula, dan jembatan lintas Singaraja-Sangsit, jembatan itu telah rampung dibangun 1918. Sebelum jembatan ini dibangun oleh Belanda dengan sistem tulang beton, jembatan-jembatan itu diberi nama Kreteg, yaitu penyebrangan tradisional menggunakan kayu. Biasanya dipergunakan untuk lintas kuda, dokar, dan grobak. Jembatan-jembatan lain yang dibangun adalah jembatan lintas Tukad Penarukan rute Singaraja-Jineng dalem melalui Penarukan; Jembatan Busungbiu yang menghubungkan daerah Bubunan dengan Anturan; Jembatan Anturan-Banyumala; dan Jembatan yang menghubungkan Tejakula dengan Karangasem, baru selesai dibangun tahun 1918-an.

Dari data pembangunan jalan-jalan utama yang ada di Bali Utara maka dapat diketahui, di Buleleng dikenal ada tiga rute jalan penghubung daerah ini dengan daerah Bali lainnya. Jalan-jalan utama yang direncanakan oleh Belanda sebagai daerah lintas darat modern yaitu, jalan timur yang menuju Denpasar melewati Kubutambahan dan Kintamani, baru selesai dikerjakan pada tahun 1926. Setahun kemudian menyusul rute Bubunan- Pupuan untuk menuju Tabanan-Denpasar atau Jambarana. Sedangkan rute yang ketiga ke Denpasar melewati danau Beratan selesai dalam tahun 1936. Kedua jalan yang tersebut pertama, sejauh yang ada di swapraja Buleleng, telah diaspal seluruhnya.

Sampai tahun 1930-an seluruh jalan yang diaspal di Buleleng sepanjang 78 kilometer. Sisanya baru dikeraskan saja, sedangkan jarak Singaraja via Kintamani sepanjang 118 kilometer dan melalui Bubunan- Busungbiu sepanjang 113 kilometer, seluruhnya telah dikeraskan. Sedangkan yang lewat Gitgit baru diselesaikan tahun 1930-an.[16] Bandingkan dengan jalan-jalan yang ada sekarang (lihat makalah 1).

Dari ketiga rute ini jalan yang melewati Bubunan merupakan jalan lalu-lintas perekonomian pribumi yang paling penting. Melalui jalan ini, daerah-daerah tanah subur dan kaya di daerah sekitar Munduk dan sekitar Pupuan dapat menyalurkan ternak dan hasil bumi mereka. Lagi pula bus-bus dan teruk-teruk melalui jalan ini setiap hari. Jalan ini juga, merupakan jalan tembus ke daerah Tabanan Barat dan Swaparja Jembarana, sehingga menjadi bertambah penting artinya bagi perekonomian rakyat. Karena jalan arternatif melalui Gitgit belum dapat dilalui oleh roda empat. Jalan ini telah ramai digunakan oleh kuda dan buruh-buruh daerah Pancasari atau Benyah, untuk membawa berbagai hasil pertanian seperti sayur-sayuran yang banyak dikirim ke Makasar pada saat itu. Pulangnya mereka membawa minyak gas, beras, atau barang manufaktur lainnya. Agen-agen di daerah itu mempekerjakan mereka untuk mengangkut barang-barang itu, ada yang dengan kuda dan banyak pula dengan berjalan kaki sambil memikul barang-barang dari Buleleng sampai Pancasari atau sampai di daerah Baturiti Bedugul Tabanan.

Jalan yang menyusuri Pantai Utara Bali ke timur menuju Karangasem, memang jauh sebelumnya sudah dapat dilalui oleh kendaraan umum. Namun karena banyak sungai, sedangkan jembatan belum ada, maka kendaraan harus turun ke sungai. Kondisi ini sangat riskan bagi pengemudi terutama jika turun hujan. Di samping itu kepadatan penumpang ke daerah timur, tidak sepadat daerah Buleleng tengah dan barat. Karena kalau ke Denpasar orang lebih condong memilih jalan via rute Kintamani dan atau Bubunan- Pupuan.

Untuk rute daerah Buleleng Barat, di sebelah barat Bubunan jalan kendaraan ke barat diperpanjang sekitar 30 kilometer, sampai ke daerah Yehpoh di barat. Lebih ke barat lagi pada tahun 1930-an, pembangunan jalan daerah itu mengalami kesulitan karena daerahnya berbatu karang, menojol sampai ke laut, terutama di daerah Pulaki. Di samping hambatan medan yang sulit, kebetulan daerah ini tidak memiliki potensi ekonomis di daerah hinterlands-nya.

Menururut Grader (1930-an) perkebunan yang ada di daerah Buleleng Barat itu, tidak ditata secara baik oleh pengelolanya dengan demikian maka produktivitasnya menjadi sangat tidak dapat diandalkan. Ada beberapa hasil perkebunan seperti kelapa dan kopra, kapok dan palawija, serta yang lainnya, lebih banyak penyalurannya mengunakan perhubungan laut.

Jalan jalur Buleleng-Gilimanuk itu jika dibuka jalan baru, diperkirakan oleh Grader dapat memperpendek jarak dari 162 kilometer menjadi 90 kilometer. Hanya saja untuk pembukaan jalan itu, memerlukan persiapan yang lebih matang dan tenaga kerja tenaga rodi yang lebih banyak dan lebih berpengalaman.[17] Di samping itu, intensitas penumpang di daerah rute via ini pada saat itu, belum begitu ramai.

Sehubungan dengan kerja rodi itu, dalam Bali Adnjana disebutkan sebagai berikut.

Akan kewadjiban (rodi) tersebut adalah dilakukan dengan tidak memandang bangsa atau kasta...., di antaranja ada djoega beberapa jang dilepaskan dari kewadjiban itoe dengan membajar f 10, setiap tahoen. Hal ini oemoemnja dilakoekan di Boeleleng oentoek membeli ajahan.[18]

Uang pembelian ayahan dan uang retribusi kendaraan, dipergunakan untuk memelihara jalan-jalan yang telah diaspal. Untuk pemeliharaan dan pembuatan jalan daerah Gitgit ke atas, banyak menggunakan orang tahanan, terutama di daerah Pangkung Bangka dan Batumejan, dekan Danau Buyan. Lihat tabel 02 dan tabel 03 berikut.

Tabel 02: Ruas Jalan di Bali Utara Tahun 1930-an

No.

Ruas Jalan dari kota Singaraja dan ke daerah lain di Singaraja

Panjang

(km)

Selesai Tahun

1.

Singaraja-Pengastulan-Bubunan-Busungbiu- Pupuan- Denpasar.

113

1925

2.

Singanaraja-Kubutambahan-Kintamani- Denpasar.

118

1926

3.

Singaraja- Beratan (Bedugul)

78

1936

Panjang keseluruhan

299 km

Hingga 1936

Sumber: ANRI. C.J. Grader, Nota Van Toelichtingen Betreffende het in te Stellen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, (Gedong Kirtya Singaraja,t.t.), hal 40

Adapun ruas jalan yang dipelihara oleh Dinas Verkeer en Waterstaat saat itu lihat tabel 03 berikut.

Tabel 03: Ruas Jalan yang Dipelihara oleh Dinas Verkeer en Waterstaat

No.

Dipelihara oleh Dinas Verkeer en Waterstaat

Panjang (km)

1.

Singaraja-Penginyahan

35

2.

Singanaraja- Subuk

40

3.

Bagian jalan Pupuan-Pulukan

7

4.

Kubutanbahan Tanjung Ngis

34

5.

Singaraja -Benyah (Pancasari)

25

6.

Mayong- Munduk

13

Jumlah seluruhnya adalah

154 km

Sumber: C.J. Grader, Nota Van Toelichtingen Betreffende het in te Stellen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, (Gedong Kirtya Singaraja,t.t.), hal 40

Perluasan jaringan jalan terus dilaksanakan oleh pemerintah Belanda dengan sistem wajib rodi. Masalah wajib rodi ini pernah memunculkan protes dari kalangan triwangsa. Karena menurut pandangannya, wajib rodi itu hanya berlaku bagi golongan sudra. Apa lagi bagi golongan brahmana yang menduduki posisi paling terhormat di dalam masyarakat, peraturan kerja rodi Belanda itu dianggap melanggar adat Bali yang telah berlaku sejak zaman kerajaan. Protes dari golongan triwangsa ini dijawab oleh Belanda dengan mengeluarkan peraturan bahwa kerja wajib rodi itu boleh diupahkan, kalau golongan Brahmana menghendakinya.[19]

B. Pelabuhan Laut

Di samping jalan darat sebagai sarana pendukung perdagangan di kota Singaraja, yang lebih berkembang pesat adalah perhubungan laut. Bahkan lintas laut merupakan sarana perhubungan utama dalam perdagangan sejak awal. Sehubungan dengan lintas laut, kota Singaraja memiliki Pelabuhan Buleleng sebagai pelabuhan tempat ke luar- masuknya barang. Di samping Pelabuhan Buleleng, ada dua pelabuhan pendukung (alternatif) pelabuhan Buleleng yang terkenal yaitu PelabuhanTemukus dan Pelabuhan Sangsit.[20] Sedangkan bandar-bandar kecil tersebar di Pantai Utara Bali, seperti yang disebutkan oleh Bloemen Waanders, sedikitnya ada tujuh bandar dagang di daerah ini, antara lain: Pengastulan, Temukus, Anturan, Buleleng, Sangsit, Kubu Kelod, dan Lirang. Waanders (1859) menyebutkan tujuh pelabuhan ini, disewa oleh Subandar Cina, dengan pusat perdagangannya di Pelabuhan Buleleng. Tiga pelabuhan yang disebut terdahulu dapat disebut sebagai triangle seaport, karena ketiga pelabuhan ini dalam kerjanya berupa kesatuan organisasi, terutama sebelum datangnya Belanda. Dua pelabuhan pendukung ini memiliki peranan penting terutama pada saat pelabuhan Buleleng jenuh, atau kelebihan barang yang harus dibongkar dan terutama pada saat angin musim tiba, yaitu pada bulan Februari-Maret. Pelabuhan Temukus sangat aman untuk berlabuh pada bulan-bulan itu, karena pelabuhan alam ini sangat istimewa dan satu-satunya pelabuhan dimana kapal dapat berlabuh sepanjang tahun.[21] Tiga pelabuhan ini juga menjadi ajang perdagangan pasar gelap (dark markets), terutama dalam perdagangan candu di Bali Utara. Pemasokan barang-barang luar dan juga pengiriman barang komoditas lokal daerah ini, terutama melalui Pabean Buleleng.[22]

Gregory di dalam tulisan berjudul Zeemmans Gids voor en Vaarwater van Java, naar en door den Modukschen, Archipel en Terug(1853), menguraikan secara lebih lengkap mengenai keadaan fisik dan posisi astronomi dari beberapa tempat berlabuh dan beberapa bahaya yang mengancam jika melakukan pelayaran di Pantai Utara Bali. Beberapa hal yang menarik utuk diketahui agar dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dari daerah Pantai Barat ke Timur, terutama keadaan pantainya digambarkan dalam berita perjalanan itu sebagai berikut.

(Di ujung barat) Pulau Gibon (Gilimanuk?) atau Pulau Merpati ... adalah pulau yang amat kecil, sekitar satu mil dari Pulau Bali, di sebelah tenggaranya terdapat St. Nicolas, yang pada pintu masuk ke dalamannya sekitar 80 vadem (=1,88 m) lebih ke tengah makin dangkal. Di bagian selatannya terdapat Batu Karang Banyuwedang (Letnan J.A.C. Rieiveld) diperkirakan banyak batu karang di bawah air; Teluk Banyuwedang, banyak didekati oleh perahu-perahu kecil, sedangkan di bagian depannya ditutupi oleh batu karang dengan pintu masuk yang sangat sempit, sehingga tidak dapat dilihat dari luar. Di sebelah timur Gunung Sandan terdapat karang yang sangat berbahaya, pada posisi yang berdekatan dengan Gunung Gondol, Tanjung Pulaki, selanjutnya karang cukup memanjang lagi. Secara garis besar, ada dua batu karang yang cukup panjang di sepanjang pantai julur menjulur dari pegunungan menuju pantai; Patemoe (Patemon?) keadaannya sangat curam, dimana tempat berlabuh kapal-kapal Patemoe, ada pada posisi 8o10Lintang Selatan dan 115o Bujur Timur.

Gambaran fisik Pelabuhan Temukus, dalam Peta yang ditulis oleh Letnan Laut P. Baron Melvill van Carnbe disebutkan, pelabuhan ini terletak pada 8o9L.S. dan 115o2 B.T. Di depan pelabuhan itu berdiri batu karang sebagaiannya masih di atas air. Pada saat musim angin dari arah barat laut, di belakangnya cukup terlindung oleh benturan ombak, karena karang itu cukup menjamin kapal dari terjangan ombak angin musim itu. Di sebelah utara dari tanjung Buleleng muncul batu karang dengan puncak-puncak di atas air, pada jarak sekitar seper empat mil. Sedangkan di sebelah timur laut pada jarak 1, 3/4 mil dari tanujung Buleleng, muncul karang Sangsit. Di antara dua karang inilah terletak Pelabuhan Buleleng. Pelabuhan ini diapit oleh dua karang ini. Gregory (1853) menyebutkan, di pelabuhan ini tidak aman terhadap benturan ombak dan angin. Terutama bila berembus angin agak ke utara, sering terdapat gelombang besar sehingga menyulitkan untuk mendarat. Di samping itu sungai di timur pelabuhan ada sungai yang menyumbang lumpur untuk pendangkalan pelabuhan.

Letak muara sungai rata-rata 8o530L S, dan 115o845 BT. Sungai itu mengalirkan air hanya setinggi 8-9 kaki. Dua karang yang mengapit Pelabuhan Buleleng berjarak 700 elo dari daratan. Pada jarak sekitar setengah mil dari daratan, kedalaman laut mencapai 40 vadem, dan menjadi 10 vadem dekat daratan.[23]

Antara batu karang dengan daratan masih bisa dilayari oleh perahu-perahu kecil dengan kedalaman pantai sekitar 15-16 vadem. Kemudian menyempit sampai kurang dari setengah mil menyusur daratan Buleleng sampai ke daerah Sangsit. Tempat untuk kapal-kapal berlabuh cukup luas, hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa tahun 1849 pada waktu ekspedisi Belanda ke Bali ketiga. Di depan Pelabuhan Buleleng berlabuh antara batu karang dan darat, 44 kapal perang dan dagang, 12 kapal penjelajah, 18 perahu mayang dan 16 kapal muatan.[24] Sedangkan di Pelabuhan Sangsit, berhadapan dengan kampung Sangsit, yang pada tahun 1848 sebagaian terbakar oleh tembakan kapal perang Dolfijn. Kampung ini sangat luas, di sini pada ekspedisi ketiga dijadikan markas besar pasukan Belanda dalam menaklukkan Jagaraga. [25]

Sungai Buleleng seperti yang disebutkan oleh Gregory di atas, tidak menguntungkan bagi kelestarian pelabuhan, karena sungai ini memberikan kiriman lumpur yang cukup banyak per tahunnya dari pegunungan. Sehingga memberi kontribusi besar terhadap ekselerasi pendangkalan pelabuhan Buleleng, hanya dalam beberapa tahun kapal-kapal tidak memungkinkan lagi untuk berlabuh dekat garis pantai. Dapat dipahami hubungan erosi dengan penggundulan hutan yang ada di hulunya, terutama di daerah hulu pelabuhan Sangsit, terkenal daerahnya yang sangat kritis dan memiliki ciri tanah berbatu apung, berwarna kekuning-kuningan. [26]

Di kompleks Pelabuhan Buleleng terdapat beberapa bangunan penunjang kegiatan pelabuhan zaman kolonial. Bekas-bekas bangunan itu diurut dari timur ke barat antara lain: sebuah Kelenteng Cina; Kantor EMKL Bali Veen N.V.; Kantor EMKL Wiguna; Kantor Bea Cukai; Kantor Administrasi Pelabuhan (Kantor Pabean); beberapa gudang di sebelak Kantor Pabean, berderet dari timur ke barat; dan di sebelah pintu masuk bagian barat, terdapat bekas Kantor Polisi Duana untuk menjaga ketertiban umum (Kantor Tibum).

Di sekitar pelabuhan terdapat pemukiman penduduk pendatang yang mencari kehidupan di sekitar pelabuhan. Para pedagang ini mulanya sebagian besar tinggal di sekitar pelabuhan, yang menjadi pusat kegitatan ekonomi saat itu. Di samping itu, banyak juga yang tinggal di pusat perekonomian lainnya seperti pasar dan jalan raya yang menuju ke pelabuhan. Orang Cina memiliki perkampungan tersendiri yaitu di sebelah timur Sungai Buleleng dekat dengan terminal Kampung Tinggi, disebut Kampung Baru (Pecinan) yang lokasinya berjejer ke utara dan ke timur di tepi jalan raya, jurusan Singaraja-Sangsit, di hadapan pelabuhan berjejer pertokoan Cina. Arah ke selatan dari Pelabuhan Buleleng, terdapat Kampung Bugis, Kampung Bali, dan Kampung Jawa, menyambung ke Pasar Buleleng. Sedangkan di sebelah kanan Pelabuhan Buleleng, bermukim orang Arab disebut Kampung Arab. Orang-orang Bali pendatang, tinggal di Kampung Anyar, mereka sebagian besar saat itu, bekerja sebagai buruh-buruh pasar dan buruh pelabuhan.

Keadaan daerah sekitar pelabuhan Sangsit tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di Pelabuhan Buleleng, demikian juga di Pelabuhan Temukus. Banyak di antara pedagang Timur Asing itu, memiliki dua atau tiga tempat berdagang di sekitar triangle seaport ini, dengan prioritas urutan usaha, Pelabuhan Buleleng, Pelabuhan Temukus dan Pelabuhan Sangsit. Cina-cina yang terkenal kaya dalam beberapa sumber disebutkan tinggal di Pabean Bulleleng dan Pelabuhan Temukus.

Toponimi yang berdasarkan pada kenyataan pemukiman ini, sesuai dengan Staatsblad 1883:267 yang berisi tentang kebujakan pemerintah Belanda bahwa Pabean Buleleng, Temukus, dan Sangsit sebagai daerah pemukiman khusus untuk Orang-orang Timur Asing, seperti Cina, India, Arab.[27] Orang -orang asing ini berperanan besar dalam perdagangan di Bali Utara, mereka dapat menjembatani perdagangan antarpulau. Golongan ini sangat diuntungkan oleh latar belakang budaya penduduk pribumi yang memandang berdagang itu adalah bukan pekerjaan yang ideal dan sistem politik yang ada pada saat itu, menempatkan orang Cina, sebagai pelaku bisnis utama, baik pada zaman kerajaan maupun setelah datangnya Belanda di Bali Utara.

4. Pengembangan Wisata Nyegara-Gunung

Data sejarah yang paparkan diatas memberikan gambaran peta masalah dan data sejarah yang dapat diangkat ke permukaan untuk mendapatkan jaringan lintas lautnya yang ada di Bali Utara dan sekitarnya. Dan untuk melihat hubungan perdagangan atas-bawah atau nyegara-gunung (pelabuhan dengan hinterlands-nya), secara logika di antara jalan laut dengan jalan darat (nyegara-gunung) seharusnya berbanding lurus adanya. Artinya setiap ada pelabuhan biasanya ditemukan pura segaranya dan ada hulu (pura pegunungannya), serta struktur masyarakatnya dengan prosesi upacara (tradisi) yang maíz hidup atau tela disesuaikan dengan sistem kepercayaan yang belakangan.

Pelabuhan-pelabuhan laut di pinggir pantai Utara Bali penguasaannya di masa lalu ditandai dengan pendirian sebuah pura-pura besar dan pura syahbandar yang tersebabr di Pantai Utara Bali. Sedangkan pendukungya adalah desa-desa sekitar yang diwarnai oleh pembagian tugas serta hak-hak tradisionalnya, sedangkan di daerah pengunungannya adalah pura-pura hulu dan lokasi raja-raja lokal yang menguasai pelabuhan itu. Hal ini baru dapat dipahami jika diadakan kajian interkonected antara unsur pengikat tradisi/upacara, adat-istiadat, dan lelintihan wali semua pura/tradisi yang ada di situs tertentu dengan mengambil satu paket koneksitas segara-gunung dengan kajian subaltern. Dan model inilah secara konseptual nyegara-gunung akan dijadikan paket-paket wisata budaya, terkait dengan pelabuhan tua di dengan pura tuanya di pantai, strukrtur masyarakat pendukungnya, pura dan pusat pemerintahan penguasa-penguasa lokal di gunungnya. Sehingga nyegara-gunung ini didekati way of life tree view point of the world (Tri Hita Karana). Kalau dindaikan tubuh ada bagian kaki (pelabuhan dan pantai/Sagara), badan (masyarakat dan tradisinya), dan kepala Hulunya (Gunung).

Bagian kaki (segara) akam menghasilkan paket wisata bahari, bagian perut menghasilkan paket wisata budaya (society), bagian atasnya menghasilkan paket wisata relegi, lintas alam (tracking) dan beutifull view (sun set and sun rise). Hubungan kaki-badan dan kepala (nyegara-gunungnya) memberikan paket safari wisata secara utuh.

Strategi dan pengembangannya, baik berupa kebijakan, pengembangan struktur dan inprastruktur, sarana dan prasarana dapat dilakukan secara terpadu dan menyeluruh, sehingga akan mengahsilkan sinergi berkelanjutan pada seluruh daerah secara otonomi di Bali Utara, dan secara bulat dalam usaha pemahaman masa lalu dalam dunia pariwisata. Gebrakan pembangunan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan dapat dilaksanakan secara simultan dan berkelanjutan (development susteinable).

5. Contoh Model Bagan (Konseptual) dan Paket-paket Nyegara-Gunung Lainnya

A. Secara konseptual teoretis (asumsi teori) rancangan pengembangan wisatawan nyegara-gunung dapat digambarkan sebagai berikut.

Bagan 01: Contoh Rancangan Pengembangan Obyek Wisata Nyegara-Gunung


B. Paket Nyegara-Gunung Lainnya

No.

Sagaranya

Perutnya/ Pendukungnya

Gunungnya

1.

Paket Pura Pabean Pulaki (Syahbandar Cina)- Komplek Pulaki

perutnya telah jadi panjak Gamang (dengan Pura Pulaki memiliki struktur pantion Dewa)

Puncak Manik, dan pura sebelumnya.

2

Kubur Jaya Prana

Kerajaan Kalianget, Cerita Sawung Galing.

- (Tamblingan?)

2.

Sekitar Pura Labuhan Aji (Pelabuhan Temukusnya), Lovinanya.

- Sidatapa,Cempaga, Tigawasa, dan Pedawa (SCTP); Gobleg, Gesing, Munduk, Umejero (GGMU);

- Desa Banjar, Perang Banjar, Gol. Brahmana, Kerajaan Kalianget .

Tamblingan dan sekitarnya

3

Pura Penimbangan

-Masyarakat Panji (bekas kerajaan Panjisakti dan sekitarnya

- Pucak Cemara dan sekitarnya dan Pura Yeh Kuning (Panca tirta)

4

Pelabuhan Buleleng, Pura sagara, Tamansari

- Kerajaan Buleleng, Sukasada (Pura Dalem, Pura Baleagung) Buleleng

- Buyan-Tamblingan, Pura Yeh Ketupat, Cerita Panji Bandung.

5

Sangsit, Pura Beji, Pura Agung

- Pura Manasa: Kloncing, Sinabun, Suwug, Bengkala.

Pucak Pucuk/Dulu

6

Pura Maduwe Karang, Pura Nagara (Cambur Nglayang), Pelabuhan Kuno Penyusuan/ tempat ngambil air (Pura Gigir Manuk), Air Sanih.

- Bungkulan, Kubutambahan;

- Desa Bulian, Menyali

Pura Bukit Sinunggal

7

Pura Pegonjongan (Pelabuhan kuno) dan sekitarnya.

-Desa Les, Sambirenteng, Tejakula, Julah dan sekitarnya

Pucak Penulisan, Panorajon, Dalem Bingkang dan Desa-desa bintang danau.

Ini hanya sebuah paket tentatif masih membutuhkan kajian lebih lanjut untuk mengetahui ikatan puja wali hubungan atas-bawah dan masyarakat pendukungnya. Agar dapat menjelaskannya secara benar pada wisatawan.

6. Simpulan dan Rekomendasi

a. Simpulan

Paket wisata nyegara gunung sangat menarik untuk dijekaskan, dikembangkan secara berkelanjutan, dengan memadukan unsur potensi laut (bahari), potensi alam, pertanian dan peternakan dalam mengembangkan paket wisata di Bali Utara. Di sagara dengan kemasan wilayah pantainya, dengan menjelaskan secara rinci potensi dan daya tarik yang ada di bagian hinterlands-nya. Pertanian, perkebunan, buah-buahan, alam yang indah, upacara, tradisi, makanan dari tanaman lokal dan sebagainya. Dalam menjualnya wilayah gunungnya juga pelaku wisata di pegunungan menjelaskan beberapa hal terkait dengan daerah pantai dan masyarakat pendukung tradisi upara, relegi yang secara kontekstual berkait dengannya.

Pengembangan paket wisata terintegrated ini, bukan hanya dapat menjual alam, tetapi juga menjual budaya, sejarah, tradisi, dan proses-proses kegiatan penduduk pegunungan yang menarik, makanan, dan tradisi, kebiasaan, cara-cara melaksanakan proses pembuatan hal yang unik di daerah pedesaan.

b. Rekomenadsi:

Ø Agar diadakan pendataan secara detail konteks nyegara-gunung yang ada di Bali Utara.

Ø Agar dibikin pedoman guide, yang berisi koneksitas atas-bawah lengkap dengan berbagai tradisi terkait dengannya.

Ø Agar dibangun sarana dan prasarana untuk melakuka hubungan atas bawah itu, dengan mengambil jalan-jalan tradisional (setapak) sesuai dengan konteks masa lalu atau paket wisata yang dikemas.

Ø Agar pembangunan pariwisata memperhatikan kelestarian alam, budaya, dan masyarakat (development sustaineble), serta mensejahtrakan masyarakat lokal.

Ø Pemerintah dan masyarakat agar memiliki visi dan missi yang sama dalam mengembangkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Anak Agung Putra. 1974. “Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali Utara 1924-1928”, Sekripsi S-1, Universitas Gadjah Mada.

Anonim, Sapoe Djagat (nama samaran, 1925.,”Pengajah Heerendienst di Bali”, dalam Bali Adnjana, Tahoen III, No.25

Bagus, I Gusti Ngurah (et al.), l981. Monografi Kota Singaraja, Fakultas Sastra: Denpasar.

Berg, David Joel Stein .1971. (et al.), In Search of South-Easth Asia a Modern History, Singapore: Oxford In Asia Peper Books.

Bremmel, A.C.V. van, 1967. “The Banteng, Bos Javanicus, in Captivity”, dalam International Zoo Year Book VII.

Dewey, A.G. . 1962, Peasant Marketing in Java, New York: Pree Press of Glencoe Inc.

Geertz, Clifford. 1971. Agriculture Innvolution, The Process of Ecological Change in Indonesia, Berkeley: University of California Press.

Grader, C. J. 1937 (?). Nota van Toelichtingen Betreffende het in te Stellen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, Singaraja.

Gregory, F.A.A., 1853. Zeemmans Gids voor en Vaarwater van Java, Naar en door den Modukschen, Archipel en Terug, Koleksi Gedong Kirtya Singaraja.

Huitema, H., 1986. Peternakan di Daerah Tropis Arti Ekonomi dan Kemampuannya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kawi, Gde. 1968. “Tinjauan Geografi Ekonomi Pelabuhan Laut Buleleng”, Sekripsi S-1 Jurusan Geografi UGM: Yogyakarta.

Poerwadarminta, W.J.S., 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka: Yakarta.

Schrieke, B. 1966. Indonesian Sociological Studies, W. Van Hoeve Publisher Ltd.The Hague.

Tillman, Allan D. 1987. “Bangsa-bangsa Ternak di Indonesia dan Hasilnya”, dalam Pengembangan Ternak di Indonesia, Peni S. Hardjosworo dan Joel M. Levina (penyunting), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tjiptoatmodjo, Sutjipto, 1983, “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII Sampai Medio Abad XIX)”, Disertasi S-3, UGM,)

Vink, G.J. 1984. Dasar-dasar Usahatani Indonesia, (Ny. Suhertian (penerjemah), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Weitzel, A.W.P., 1849. De Derde Militaire Expeditie, het Eiland Bali in 1849, (Te Gronichem: J. Noorduyn en Zoon.



[1] Lihat C.J. Grader, Nota Van Toelichtingen Betreffende het in te Stellen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, (Gedong Kirtya Singaraja,t.t.), 3-4. Daerah Perapat Agung Merupakan daerah yang unik, karena di daerah itu terdapat pepohonan yang tidak ditemukan di hutan lainnya di Bali seperti, kayu cendana (sandelhoud), walikukun, bendu, taloh, sawo kecik (manilkara kanki). Dengan “Residentsbesluit van 18 Nopember 1936, No. Ez.1/2/18”, hutan Perapat Agung ditunjuk sebagai hutan lindung yang dilestarikan.

[2] Masyarakat Buleleng sangat menghargai danau Buyan-Tamblingan, karena merupakan sumber air untuk irigasi khususnya daerah Buleleng Tengah, sehingga banyak upacara tradisional yang dilaksanakan sehubungan dengan pertanian oleh masyarakat dikaitkan dengan dua danau yang dianggap sumber utama mata air di daerah itu.

[3] I Gusti Ngurah Bagus (et al.), Monografi Kota Singaraja, (Faksas Denpasar, l981), hal. 5-8.

[4] Clifford Geertz, Agriculture Innvolution, The Process of Ecological Change in Indonesia, (Berkeley: University of California Press, 1971), hal. 10-15. Walaupun teori involusi pertanian ini sudah banyak yang menolaknya, tetapi uraiannya mengenai topografis daerah Bali agak mendekati dengan kreteria yang diajukan, khususnya untuk daerah Bali Utara yang menjadi spasial penelitian ini.

[5] C.J. Grader dalam laporannya menyebutkan, “usaha ternak ayam potong di daerah Grokgak dan sekitarnya yang dilakukan oleh penduduk pribumi selalu mengalami kegagalan, karena terserang penyakit sampar ayam.

[6] H. Huitema, Peternakan di Daerah Tropis Arti Ekonomi dan Kemampuannya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. 18; Allan D. Tillman, “Bangsa-bangsa Ternak di Indonesia dan Hasilnya”, dalam Pengembangan Ternak di Indonesia, Peni S. Hardjosworo dan Joel M. Levina (penyunting), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hal. 86

[7] A.C.V. van Bremmel, “The Banteng, Bos Javanicus, in Captivity”, dalam International Zoo Year Book VII, (1967), hal. 222

[8] Allan D. Tillman, “Bangsa-bangsa Ternak di Indonesia dan Hasilnya”, dalam Pengembangan Ternak di Indonesia, Peni S. Hardjosworo dan Joel M. Levina (penyunting), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hal. 106.

[9] G.J. Vink, Dasar-dasar Usahatani Indonesia, Ny. Suhertian (penerjemah), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), hal.199-200

[10] Spesialisasi pembuatan barang logam dikerjakan oleh Warga Pande, yaitu klen pande yaitu Pande wesi Tamblingan (Ngagandring) dan Pande wesi beratan membuat hiasan (Pande Ngagaluh). Disarikan dari (1) “Prasasti Pande Wesi” koleksi Gedong Kirtya, nomor V.a/1133/10; (2) “Dharma Kepandean”, koleksi Gedong Kirtya nomor III.c/1473/21; (3) “Babad Pande Capung”, koleksi Gedong Kirtya, nomor V.a/ 1170; (4) “Babad Pande Bang”, koleksi Gedong Kirtya, nomor V.a /1230, disebut-sebut dalam “Prasasti Pande Tamblingan”, pada zaman kerajaan Hindu Kuno.

[11] Sutjipto Tjiptoatmodjo, “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII Sampai Medio Abad XIX)”, Disertasi S-3, UGM, (1983), hal. 52

[12] B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, (W. Van Hoeve Publisher:The Hague, 1966), hal. 21

[13] David Joel Stein Berg (et al.), In Search of South-Easth Asia a Modern History, (Singapore: Oxford In Asia Peper Books, 1971), hal. 16.

[14] C.J. Grader, Nota Van Toelichtingen Betreffende het in te Stellen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, (Gedong Kirtya Singaraja,t.t.), hal.29-30

[15] Istilah Door to door Peddlers, dapat dilihat dalam A.G. Dewey, Peasant Marketing in Java, (New York: Pree Press of Glencoe Inc., 1962), hal. 179-180.

[16] C.J. Grader, Nota van Toelichtingen Betreffende het in te Stellen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, (Singaraja, tt.(1937?)), hal. 39

[17] ANRI. C.J. Grader, Nota van Toelichtingen Betreffende het in te Stellen Zelfbesturend Landschap Boeleleng, (Singaraja, tt.), hal. 39, disebutkan tentang kerja rodi pembuatan jalan-jalan di daerah Bali Utara, banyak menggunakan tenaga kerja orang-orang yang menjadi Bogolan (Tahanan) pada saat itu.

[18] Sapoe Djagat (nama samaran),”Pengajah Heerendienst di Bali”, dalam Bali Adnjana, Tahoen III, No.25, hal.1-5

[19] Dalam Bali Adnjana disebutkan bahwa kerja rodi itu dionggkoskan pada golongan di luar Brahmana atau dengan membayar tebusan pada pemerintah .

[20] Ketiga pelabuhan ini, dalam sejarahnya pernah menjadi ajang pertempuran pada masa kolonial Belanda. Pelabuhan Buleleng tempat berlabuhnya Angkatan Perang Belanda dalam ekspedisi pertama yaitu Perang Buleleng (1846), Pelabuhan Sangsit dalam ekspedisi kedua (1848 dan 1849).

[21] Pelabuhan Temukus ini memiliki Karang Penghalang yang diberinama “Tangkad Keramat” oleh penduduk, berupa barrier reef terletak di muka pelabuhan itu sehingga kapal-kapal yang berlabuh di sana terhindar dari amukan ombak besar.

[22] Pelabuhan Buleleng lebih dikenal dengan Pabean Buleleng. Kata pabean berarti kantor tempat memunggut bea di pelabuhan. Hal ini sesuai pula dengan fungsi pelabuhan ini merupakan pusat administrasi dari bea dan cukai kapal-kapal yang pergi atau yang datang. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1976) cet.V, hal.690

[23]ANRI. F.A.A. Gregory, Zeemmans Gids voor en Vaarwater van Java, naar en door den Modukschen, Archipel en Terug, (Koleksi Gedong Kirtya,1853), hal.18

[24] ANRI. F.A.A. Gregory, Zeemmans Gids voor en Vaarwater van Java, naar en door den Modukschen, Archipel en Terug, (koleksi Gedong Kirtya,1853), hal 20. Dari gambaran jumlah kapal dan perahu yang dapat berlabuh pada tahun 1849, kita dapat membayangkan keadaan fisik Pelabuhan Buleleng dan hubungannya dengan Pelabuhan Temukus dan Sangsit, yang penulis sebut sebagai triangle seaport itu.

[25] Lihat A.W.P. Weitzel, De Derde Militaire Expeditie, het Eiland Bali in 1849, (Te Gronichem: J. Noorduyn en Zoon, 1849), hal.280.

[26] Gde Kawi, Tinjauan Geografi Ekonomi Pelabuhan Laut Buleleng. Sekripsi S-1 Jurusan Geografi UGM, 1968.

[27] Anak Agung Putra Agung, “Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali Utara 1924-1928”, Sekripsi S-1, Universitas Gadjah Mada, , (1974), hal. 70