Menurut Anda, apakah Gus Dur pantas dianugerahi gelar Pahlawan Nasional?

Powered By Blogger

WELCOME TO ADI SANJAYA BLOG

Mari Kita Berpetualang Melewati Ruang dan Waktu Melalui Sebuah Pesona Perlawatan Sejarah

Rabu, 21 Oktober 2009

INDONESIA PADA MASA REFORMASI

Era reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya pada saat presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis financial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerinthan Soeharto semakin disorot setelah tragedi Tri Sakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswapun meluas hampir diseluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Pada tanggal 21 Mei 1998 tepatnya pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan kemudian mengucapkan terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat.

Masa reformasi baru terlaksana ketika Indonesia setelah pemerintahan Soeharto. Dimana BJ. Habibie sebagai presiden Indonesia yang ketiga, memperkenalkan suatu reformasi yang menjanjikan suatu masyarakat yang lebih demokratis, adil, dan terbuka. Kemudian beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisme parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Ketika Habibie menggantikan mentornya Soeharto sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya. Isu-isu itu adalah pertama masa depan reformasi; kedua masa depan ABRI; ketiga masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia; empat masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya, dan kroni-kroninya; dan yang kelima masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Tujuh belas bulan kemudian, isu pertama menunjukkan perkembangan positif, isu kedua mengarah kepada pengurangan peranan militer dalam bidang politik, isu ketiga telah terselesaikan dalam konteks Timor-Timur dan tidak dalam konteks daerah lain, isu keempat belum terselesaikan dan isu kelima tetap tidak terpecahkan. Dalam perkembangan masa pemerintahan BJ. Habibie, dimana keengganan untuk mengadili Soeharto, kelambatan investigasi kasus menghilangnya aktivis-aktivis politik, kasus Tri Sakti, kerusuhan Mei 1998, dan kegagalan Habibie mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat, harapan yang sebetulnya tidak realistis, menimbulkan tuntutan diadakannya sidang istimewa MPR untuk memberhentikan Habibie dan untuk memilih kepemimpinan nasional yang baru.

Akibat krisis ekonomi yang tak kunjung berakhir, kekerasan social, krisis politik yang berkepanjangan dan keraguan yang luas tentang kejujuran dan keabsahan pemerintah telah memudarkan harapan akan reformasi. Pada bulan Novenber 1999, Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi presiden ke-4. Gus Dur, seperti biasa menampilkan intelegensia, kekocakan, keterbukaan, dan komitmen terhadap pluralisme serta kebencian terhadap dogmatisme. Namun, sikap-sikap positif ini juga diiringi dengan kecenderungan untuk bertindak seenaknya, kegigihan untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun, keterbatasan karena buta, masalah kesehatan secara umum, kurangya pengalaman dalam masalah pemerintahan, dan kesulitan menemukan orang-orang yang jujur dan kompeten untuk berada dalam pemerintahannya. Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid diwarnai dengan gerakan-gerakan separatisme yang makin berkembang di Aceh, Maluku dan Papua. Selain itu, banyak kebijakan Abdurrahman Wahid yang ditentang oleh MPR atau DPR. Pada tanggal 29 Januari 2001, ribuan demonstran berkumpul di gedung MPR dan meminta Gus Dur untuk mengundurkan diri dengan tuduhan korupsi. Dibawah tekanan yang besar, akhirnya Gus Dur lalu mengumumkan pemindahan kekuasaan kepada wakil presiden yaitu Megawati Soekarnoputri. Oleh karena itu, pada bulan Juli 2001 Gus Dur dipecat sebagai presiden oleh MPR dan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden Indonesia yang ke-5. Akan tetapi, sementara itu masalah bangsa terus menghadang.

Pada periode Juli 2001 sampai pada pemilihan presiden tahun 2004, presiden Indonesia adalah Megawati Soekarnoputri. Pemerintahannya harus menghadapi tantangan-tantangan yang berat sekali, seperti dalam keadaan ekonomi dan politik Indonesia yang nyata, siapa saja yang menjadi presiden pasti menghadapi kesulitan yang besar. Diantara persoalan-persoalan yang belum diatasi dimasa pemerintahan Megawati adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang lazim disebut KKN. Ekonomi Indonesia mengalami kesulitan sejak 1997 dan pemerintahan Megawati belum bisa memulihkannya seperti sebelum krisis itu. Namun demikian ada kemajuan dalam beberapa hal. Meski tetap lambat, investasi sudah mulai mengalir, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Akan tetapi, pembangunan yang lebih pesat sangan dibutuhkan. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang berjaln terus, pembangunan diperlukan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan.

Sewaktu Indonesia menghadapi banyak sekali tantangan seperti yang dibicarakan di atas, demokrasi mengakar dengan cara yang mengesankan. Tahun 2004 adalah tahun pemilihan, pemilihan umum pada bulan April untuk Dewan Perwakilan Rakyat pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tingkat provinsi dan pada tingkat kota atau Kabupaten, dan instansi baru Dewan Perwakilan Daerah di pusat. Dari sudut administrasipun pemilu bulan April 2004 merupakan tantangan yang besar sekali. Pada masa ini terjadi beberapa penyelewengan, kesulitan dan kesalahan terjadi. Akan tetapi pada umumnya, pemilu dilaksanakan dengan tertib dan secara seharusnya. Kesulitan yang dihadapi pada pemilu kali ini salah satu penyebabnya adalah banyaknya parpol yang ikut dalam pemilu, seperti partai Golkar, PDIP, PKB, PPP, Demokrat, PKS, PAN, PDS, dan lain-lain.

Pada pemilihan presiden putaran pertama yang diselenggarkan pada bulan Juli 2004 ada lima pasangan calon presiden dan wakil presiden antara lain: Wiranto dari Golkar dengan Salahudin Wahid dari NU, Megawati dari PDIP dengan Hasyim Musadi dari NU, Amien Rais dari PAN dengan Siswono Yudo Husodo dari Golkar, Susilo Bambang Yudhoyono dari partai Demokrat dengan Jusuf Kalla dari Golkar dan NU, Hamzah Haz dari PPP dengan Agum Gumelar dari TNI. Dalam putaran pertama ini pasangan SBY- MJK mendapat suara terbanyak kemudia diikuti oleh Megawati, Wiranto, Amien Rais dan Hamzah Haz. Sedangkan pemilihan presiden putaran kedua yang di selenggarakan pada bulan September 2004 pasangan yang terpilih adalah pasangan Susilo Bambang Yodhoyono berhadapan dengan pasangan dari Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada hasil akhir pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kala yang menang dengan meraih suara sebesar 60,9%.

Dengan dipilihnya SBY oleh rakyat Indonesia secara langsung dandengan dukungan sekuat itu, maka pada tanggal 20 Oktober SBY dilantik sebagai presiden Indonesia ke-6 dengan amanat rakyat yang paling kuat sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Dengan demikian krisis ekonomi telah merembet kepada krisis politik bahkan kepada krisis yang bersifat multidimensi. Krisis politik ini dapat dilihat dari : pertama, konflik internal antara elite yang berkuasa yang akhirnya memperlemah sistem yang ada. Konflik internal terjadi antar fraksi-fraksi elite yang saling bersaing untuk memperoleh akses kepada Presiden. Menjelang akhir pemerintahannya, Soeharto dikelilingi oleh fraksi-fraksi yang bersaing, yang tujuan utamanya adalah menggunakan kekuasaan untuk mencapai pemenuhan kepentingannya. Konsekuensinya, suatu elite berkuasa yang kohesif, yang ada pada tahun-tahun pertama Orde Baru tidak dapat lagi dipertahankan dan Soeharto dipaksa untuk mengadakan manuver. Kedua, format politik yang ada secara bertahap meruntuhkan kapasitas sistem pertahanan. Politik depolitisasi baik langsung maupun tidak langsung, tidak hanya mencabut massa dari partisipasi politik yang asli, tetapi juga memarginalisasikan mereka di antara elite masyarakat sesuai dengan tingkat faksionalisme yang berkembang. Ketiga, politik depolitisasi memperlemah stuktur politik Orde Baru itu sendiri karena politik tersebut menghapus kemampuan untuk memiliki mekanisme kontrol yang efektif untuk penopangnya sendiri. Ketidakmampuan institusi politik yang ada di luar lembaga eksekutif meruntuhkan kemampuan rezim untuk mengontrol praksis-praksis korupsi dan over birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan sosial, politik dan ekonomi (Hikam, Muhammad, 1999 : 85).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar