BAB I
P E N D A H U L U A N
A. LATAR BELAKANG
Di era tahun 50-an, Negara-negara di dunia terpolarisasi kedalam dua kutub. Ketika itu terjadi pertarungan yang kuat antra Timur dan Barat terutama sekali pada era perang dingin (cold war) antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
Pertarungan ini adalah merupakan upaya untuk memperluas sphere of interest dan sphere of influence. Dengan sasaran utama perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di dunia dengan berkedok pada ideology anutan masing-masing.
Sebagian Negara masuk dalam Blok Amerika dan sebagian lagi masuk dalam Blok Uni Sovyet. Aliansi dan pertarungan didalamnya memberikan akibat fisik yang negative bagi beberapa Negara di dunia seperti misalnya Jerman yang sempat terbagi menjadi dua bagian, Vietnam dimasa lalu, serta Semenanjung Korea yang sampai saat sekarang ini masih terbelah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan.
Dalam pertarungan ini Negara dunia ketiga menjadi wilayah persaingan yang amat mempesona buat keduanya. Sebut saja misalnya Negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara seperti
Dalam kondisi yang seperti ini, lahir dorongan yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga untuk dapat keluar dari tekanan dua Negara tersebut. Soekarno, Ghandi dan beberapa pemimpin dari
Akhirnya pada tahun 1955 bertempat di Bandung, Indonesia, 29 Kepala Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang kolonialisme dan pengaruh kekuatan “barat”. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika atau sering disebut sebagai Konferensi Bandung. Konferensi inilah yang menjadi tonggak lahirnya Gerakan Non Blok.
B. TUJUAN
Dengan didasari semangat Dasa Sila Bandung, Gerakan Non Blok dibentuk pada tahun 1961 dengan tujuan utama mempersatukan Negara-negara yang tidak ingin beraliansi dengan Negara-negara adidaya peserta Perang Dingin yaitu USA dan Uni Sovyet.
BAB II
LAHIRNYA GERAKAN NON BLOK
A. KONFERENSI ASIA AFRIKA
Konferensi Asia Afrika merupakan gagasan oleh
Akhirnya pada tanggal
Tujuan utama konferensi ini adalah membentuk kubu kekuatan negara-negara dunia ketiga untuk menghadapi dua kubu adidaya, Barat dan Timur. Di akhir konferensi, ditandatangani Deklarasi
Dalam Pertemuan tersebut, 29 kepala Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang kolonialisme dan pengaruh kekuatan “barat”. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika atau sering pula disebut sebagai Konferensi Bandung.
Dari Konferensi ini dihasilkan 10 prinsip yang disepakati bersama yang sering juga disebutkan sebagai Dasa Sila Bandung, yaitu :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB;
2. Menghormati kedaulatan dan integrits territorial semua bangsa;
3. Mengakui persamaan ras dan persamaan semua bangsa baik besar maupun kecil;
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri orang lain;
5. Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendiri atau kolektif sesuai dengan piagam PBB;
6. a. Tidak menggunakan peraturan-peraturan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus salah satu Negara besar.
b. Tidak melaukan tekanan terhadap Negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas territorial atau kemerdekaan politik suatu Negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hukum, atau cara damai lain berdasarkan pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Di dalam komunike akhir konferensi itu, digarisbawahi kebutuhan untuk membangun kerjasama yang saling menguntungkan antar negara-negara Asia-Afrika dalam hal pembangunan ekonomi untuk melepaskan diri dari ketergantungan melalui industrialisasi. Kerjasama ini dilaksanakan dengan membangun komitmen penyediaan asistensi teknis dalam proyek-proyek pembangunan, selain pertukaran teknologi, pengetahuan, dan pembangunan pelatihan regional dan lembaga-lembaga penelitian.
B. TERBENTUKNYA GERAKAN NON BLOK
Seperti diketahui, pembangunan Gerakan Non-blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri 25 negara dari Asia, Afrika, Eropa, dan Latin Amerika diselenggarakan di Biograd (Belgrade), Yugoslavia pada tahun 1961. Pemimpin kharismatik dari
Penggunaan istilah “Non-Alignment” (Tidak Memihak) pertama kali dilontarkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya di Srilangka tahun 1954. Dalam pidato ini, Perdana Menteri Nehru menjelaskan
1. Saling menghormati kedaulatan teritorial
2. Saling tidak melakukan agresi
3. Saling tidak mencampuri urusan dalam negeri
4. Setara dan saling menguntungkan, serta
5. Berdampingan dengan Damai
Melihat kenyataan di atas, keberadaan Gerakan Negara-Negara Non-Blok secara tegas mengacu pada hasil-hasil kesepakatan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955. Penggunaan istilah bangsa-bangsa non-blok atau “tidak memihak” adalah pernyataan bersama untuk menolak melibatkan diri dalam konfrontasi ideologis antara Barat-Timur dalam suasana Perang Dingin. Lebih lanjut, bangsa-bangsa yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok lebih memfokuskan diri pada upaya perjuangan pembebasan nasional, menghapuskan kemiskinan, dan mengatasi keterbelakangan di berbagai bidang. Dengan demikian, jelas terang bagi kita besarnya kontribusi Konferensi
C. PERTEMUAN – PERTEMUAN
Pertemuan-pertemuan tingkat tinggi yang diadakan oleh Negara-negara Non Blok meliputi :
1. Summit Conferences (Konferensi Tingkat Tinggi/KTT);
Pertemuan ini merupakan pertemuan tertinggi dan dihadiri oleh para Kepala Negara/Kepala Pemerintahan seluruh Negara anggota Non Blok. Pertemuan ini merupakan pertemuan puncak dan sering disebut dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Keputusan-keputusan penting akan diputuskan dalam pertemuan tersebut. Pertemuan tingkat tinggi ini diselenggarakan setiap tiga tahun. Dalam membahas masalah-masalah yang ada, pertemuan ini dibagi menjadi dua komite yaitu Komite mengenai issue-issue politik dan Komite mengenai issue-issue ekonomi dan social.
Sampai saat ini telah diselenggarakan KTT sebanyak 13 kali dan bertempat di Negara-negara anggota GNB, yaitu :
KTT I : 01 – 06 September 1961
KTT II : 05 – 10 Oktober 1964, Kairo, Mesir
KTT III : 08 – 10 September 1970,
KTT IV : 05 – 09 September 1973, Aljir, Aljazair
KTT V : 16 – 19 Agustus 1976,
KTT VI : 03 – 09 September 1979,
KTT VII : 07 – 12 Maret 1983,
KTT VIII : 01 – 06 September 1986,
KTT IX : 04 – 07 September 1989,
KTT X : 01 – 07 September 1992,
KTT XI : 18 – 20 Oktober 1995,
KTT XII : 02 – 03 September 1998,
KTT XIII : 02 – 25 February 2003,
2. Ministerial Conferences;
Konferensi ini merupakan pertemuan para menteri, yang bertujuan :
· Meninjau/memeriksa perkembangan-perkem-bangan dan implementasi dari keputusan-keputusan yang dihasilkan KTT.
· Menyiapkan KTT berikutnya
· Mendiskusikan hal-hal yang dianggap penting yang akan dibawa ke KTT.
Konferensi tingkat menteri terdiri dari :
· Ministerial Meetings in
· Extraordinary Ministerial Meetings;
· Ministerial Meetings of the Coordinating Bureau;
· Meetings of the Ministerial Committee on Methodology;
· Meetings of the Standing Ministerial Committee on Economic Cooperation;
· Ministerial Meetings in various fields of International Cooperation.
Selain pertemuan tingkat tinggi tersebut diatas, pertemuan lainnya yang diselenggarakan adalah working group, task forces, contact groups and Committee.
D. NEGARA ANGGOTA
Setelah hampir 50 tahun sejak disepakati “Dasasila Bandung” yang menjadi landasan semangat antikolonialisme di Asia Afrika, lalu dilanjutkan dengan Konferensi di Beograd yang merumuskan GNB, secara kuantitas GNB berhasil menggalang anggota dari 25 negara pada tahun 1961 dan saat ini menjadi 116 negara (terlampir) ditambah 17 negara pengamat yaitu Antiqua & Barbuda, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Brazil, China, Costa Rica, Croatia, Dominica, Dominican Rep., El Salvador, Kazakhstan, Kyrgyztan, Mexico, Paraguay, Uruguay dan Ukraine.
Hal tersebut diatas membuktikan menguatnya sentiment antikolonialisme pasca Perang Dunia II. Format politik GNB selanjutnya berusaha mempertahankan posisi sebagai zona netral karena dalam periode Perang Dingin, Negara Asia Afrika dan Amerika Latin membutuhkan banyak waktu untuk tidak terjebak peperangan. Selain itu, kebutuhan bagi Negara-negara Asia Afrika lainnya untuk merasakan kehidupan bersama sebagai black side area tatanan dunia baru telah menjadikan nasionalisme sebagai factor terpenting. Meski demikian, GNB masih diwarnai inkonsistensi.
E. MASALAH-MASALAH ANTAR NEGARA
Disadari bahwa meskipun Negara-negara anggota GNB sendiri berupaya memegang teguh prinsip-prinsip dan cita-cita yang dianut oleh GNB sebagaimana tertuang dalam Dasasila Bandung, namun bukan berarti bahwa selama ini tidak ada masalah-masalah internal GNB.
Diantara masalah-masalah yang menonjol adalah adanya berbagai perselisihan yang terjadi diantara Negara-negara anggota GNB sendiri.
Perselisihan antara Negara anggota tertentu itu, selain mengganggu suasana kerjasama intern GNB, juga adakalanya menghambat jalannya sidang-sidang GNB. Disamping itu, disadari pula adanya kesulitan dalam mencapai kesepakatan untuk hal-hal tertentu yang disebabkan juga oleh penerapan prinsip konsensus secara kaku.
BAB III
PERANAN
A.
Bagi
GNB mempunyai arti yang khusus bagi bangsa
Sesuai dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif,
Sebagai implementasi dari politik luar negeri yang bebas dan aktif itu, selain sebagai salah satu Negara pendiri GNB,
Sikap ini secara konsekuen diaktualisasikan
B. TUAN RUMAH KTT X GNB
Selama tiga tahun dipimpin
Hal tersebut diatas, dirasa sangat perlu sebab Komisi Selatan dalam laporannya yang berjudul “The Challenge to the South” (1987), menegaskan bahwa negara-negara Selatan harus mengandalkan kemampuannya sendiri, kalau sekedar berharap pada kerjasama Utara-Selatan ibarat pungguk merindukan bulan. Sebaliknya, dialog Selatan-Selatan akan memperkuat posisi tawar (bargaining-position) Negara-negara berkembang meski hal ini masih harus dibuktikan.
Kendati lebih mengedepankan kepentingan ekonomi, tetapi politik dan keamanan Negara-negara sekitar tetap menjadi perhatian. Dengan profil positifnya selama ini,
Konflik Kamboja mereda setelah serangkaian pembicaraan Jakarta Informal Meeting (I & II) serta Pertemuan Paris yang disponsori antara lain oleh
KTT X GNB di Jakarta berhasil merumuskan “Pesan Jakarta” yang disepakati bersama. Dalam “Pesan Jakarta” tersebut terkandung visi GNB yaitu :
v Hilangnya keraguan sementara anggota khususnya mengenai relevansi GNB setelah berakhirnya Preang Dingin dan ketetapanhati untuk meningkatkan kerjasama yang konstruktif serta sebagai komponen integral dalam “arus utama” (mainstream) hubungan internasional;
v Arah GNB yang lebih menekankan pada kerjasama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang telah berhasil dicapai melalui cara-cara politik yang menjadi cirri menonjol perjuangan GNB sebelumnya.
v Adanya kesadaran untuk semakin meningkatkan potensi ekonomi Negara-negara anggota melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan.
Setelah KTT Jakarta, GNB dapat dikatakan telah memperoleh kembali kekuatan dan keteguhannya serta kejelasan akan tujuan-tujuannya yang murni.
Selama mengemban kepemimpinan GNB,
Dalam bidang ekonomi, selama menjadi Ketua GNB, Indonesia juga secara konsisten telah mengupayakan pemecahan masalah hutang luar negeri negara-negara miskin baik pada kesempatan dialog dengan Ketua G-7 maupun dengan menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Menteri GNB mengenai Hutang dan Pembangunan yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Agustus 1994 serta berbagai seminar mengenai penyelesaian hutang luar negeri.
Dari upaya-upaya tersebut telah dicapai beberapa kemajuan yaitu antara lain telah disepakatinya upaya untuk melakukan pengurangan substansial terhadap hutang bilateral.
Sedangkan untuk hutang multilateral, dimana lembaga Bretton Woods semula enggan untuk membahasnya, pada akhirnya telah mendapatkan perhatian Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional dengan diluncurkannya Prakarsa HIPCs (Heavily Indebted Poor Countries); Peningkatan Fasilitas Penyesuaian Struktural (Enhanced Structural Adjustment Facility) dan pembentukan Dana Perwalian oleh Bank Dunia serta komitmen negara-negara Paris Club bagi penyelesaian hutang bilateral dengan menaikkan tingkat pengurangan beban hutang dari 67% menjadi 80%. Hal ini merupakan suatu keberhasilan upaya GNB dalam kerangka memerangi kemiskinan.
Melalui pendekatan baru yang dikembangkan sewaktu
Meskipun sekarang, Indonesia tidak lagi menjabat sebagai Ketua maupun Troika GNB (kepemimpinan GNB terdiri dari Ketua satu periode sebelumnya, Ketua sekarang dan Ketua yang akan datang), namun tidak berarti bahwa penanganan oleh Indonesia terhadap berbagai permasalahan penting GNB akan berhenti atau mengendur. Sebagai anggota GNB,
C. PERDAGANGAN INDONESIA DENGAN NEGARA ANGGOTA GNB
Ekspor
Ekspor Indonesia ke Negara anggota GNB periode Januari – Nopember 2004 bernilai US$ 16,760.03 juta atau sekitar 33% dari total ekspor non migas Indonesia yang bernilai US$ 50,653.17juta. Negara tujuan ekspor yang utama antara lain
Peningkatan tersebut terutama terjadi di Negara-negara :
Sumber : Analisa Posisi Perdagangan
Kerjasama Perdagangan Internasional Edisi April 2005, Set. Ditjen KPI.
Impor
Selama periode Januari – Nopember 2004, impor
Pada periode yang sama tahun 2003, impor non migas dari Negara anggota GNB berjumlah US$ 5,579.82 juta berarti untuk tahun 2004 terjadi peningkatan sebesar 40,27%.
Sumber : Analisa Posisi Perdagangan
BAB IV
KTT XIII GNB 2003
A. LATAR BELAKANG
Konferensi Tingkat Tinggi XIII telah diselenggarakan pada tanggal 20 – 25 Februari 2003 di
KTT XIII sebenarnya berlangsung pada bulan Juli 2002 di Jordania, akan tetapi KTT batal dilaksanakan pada tahun itu karena kondisi politik dan keamanan di Timur Tengah yang tidak kondusif. Akibat dari pembatalan kedua Negara tersebut, para delegasi yang bersidang di
B. PELAKSANAAN KTT XIII
KTT Gerakan Non Blok ke-13 di
Protes dan demonstrasi besar-besaran marak diberbagai tempat sebagai bentuk penolakan serangan AS tersebut. Penolakan bertambah kuat karena beberapa Negara sekutu AS di Eropa seperti Jerman dan Perancis dengan tegas menolak rencana serangan AS tersebut.
Dewan Keamanan PBB sejauh ini juga tidak meloloskan rekomendasi yang mengizinkan AS menggunakan kekuatan militer di Irak.
Menyikapi hal tersebut, Negara-negara yang bersidang dalam KTT GNB di Kuala Lumpur, sepakat menjadikan krisis AS-Irak sebagai salah satu tema utama pembicaraan. Mereka menghendaki GNB mengeluarkan suatu resolusi yang secara tegas menyatakan penolakan (condemn) terhadap rencana serangan AS tersebut. Pernyataan ini sangat penting untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa keberadaan GNB masih penting dan perannya tidak dapat dikesampingkan. PBB juga diharapkan dapat memperhatikan pernyataan Negara-negara GNB tersebut mengingat mayoritas anggota PBB yang berjumlah 196 negara merupakan anggota GNB.
Kekompakan Negara anggota GNB dapat dijadikan momentum baru untuk mempersatukan seluruh anggota. Indikasi ini terlihat dari antusiasme para Kepala Negara/Pemerintahan yang menghadiri KTT di Kuala Lumpur ini. Total ada 52 Kepala Negara/Pemerintahan yang mengikuti Konferensi termasuk Presiden RI Megawati Soekrnoputri. Ini merupakan “rekor baru” karena selama pelaksanaan KTT sebelumnya jumlah yang hadir lebih sedikit dari yang sekarang.
Melihat begitu banyaknya Kepala Negara/Pemerintahan yang hadir dalam KTT ini perhatian dunia internasional tertuju ke
Disamping menghasilkan resolusi mengenai krisis AS-Irak, konferensi juga menghasilkan pernyataan bersama untuk menyikapi keadaan yang terjadi di Korea Utara.
Dalam bidang ekonomi, agenda yang tidak boleh dilupakan adalah melakukan perbaikan dan pemberdayaan ekonomi. Data yang ada menunjukkan sebagian besar Negara anggota GNB kinerja ekonominya belum memuaskan. Memang ada beberapa Negara yang berhasil mencatat prestasi ekonomi yang mengesankan seperti yang terjadi di Negara Asia timur, beberapa Negara Afrika serta Negara-negara Asia Tenggara termasuk tuan rumah
Masalah lain yang muncul adalah besarnya ketimpangan ekonomi antar beberapa Negara anggota. Sebagai gambaran misalnya, perbandingan antara dua Negara anggota yaitu
Kekuatiran para anggota gerakan non blok menyangkut meningkatnya kesenjangan globalisasi adalah hanya merugikan Negara-negara sedang berkembang.
Secara keseluruhan, para pengamat politik menganalisa hasil sidang ke-13 KTT Non Blok adalah gerakan positif dalam kegiatan organisasi ini. Pendirian para Negara anggota untuk menentang kebijakan AS menunjukkan realitas bahwa mayoritas Negara-negara dunia menentang kebijakan militerisme AS yang membenarkan langkah-langkah yang tidak logis dan tidak dapat diterima.
BAB V
50 TAHUN KONFERENSI
Seperti telah disebutkan pada bab terdahulu, Konferensi Asia-Afrika yang dikenal dengan sebutan “Konferensi Bandung” diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi ini digagas bersama oleh
Konferensi dilaksanakan dalam situasi ketika dunia terbelah ke dalam dua blok kekuatan adidaya dunia yang saling berseteru dalam perang dingin, yakni “Blok Barat” yang dipimpin Amerika Serikat dan “Blok Timur” yang dipimpin oleh Uni Soviet. Blok-blok kekuatan adalah buah dari tidak terselesaikannya kontradiksi dalam panggung politik dunia antara kekuatan imperialis Barat dengan kekuatan negara-negara Sosialis yang pada saat berlangsungnya perang imperialis, bersekutu menumbangkan blok kekuatan fasisme yang terdiri dari Jerman, Italia, dan Jepang.
Kini setelah 50 tahun Konferensi Asia Afrika I berlangsung, Pemerintah
Negara-negara yang diundang pada peringantan 50 tahun Konferensi Asia Afrika, berjumlah 25 negara yaitu : Afgnistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tingkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan dan Yaman.
Peringatan serupa sebenarnya bukan hanya milik
Pertemuan puncak dari Konferensi tersebut dilaksanakan pada tanggal 22-23 April 2005 di ibukota
Deklarasi ini memfokuskan kerjasama Asia-Afrika secara konkret dan komplementer demi tercapainya perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kedua benua. Gagasan NAASP pertama kali dicetuskan pada pertemuan Asian-African Sub Regional Organization Conference (AASROC) I di Bandung 29-30 Juli 2003. Berdasarkan NAASP, kemitraan Asia-Afrika akan didasarkan pada tiga pilar kemitraan yaitu antarpemerintah, antarorganisasi sub-regional dan antarkelompok masyarakat yang terdiri atas (pelaku bisnis, akademisi dan masyarakat madani).
Kemitraan strategis yang baru ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan di kawasan Asia-Afrika yang mengarah pada upaya-upaya meningkatkan sejumlah mekanisme yang sudah ada, seperti NEPAD (New Partnership for African Development), TICAD (Tokyo International Conference on African Development), China-Africa Cooperation Conference Forum, India NEPAD Fund, dan lain-lain.
Selain di Jakarta, Konferensi juga berlangsung di
1. Untuk memajukan goodwill (kehendak yang luhur) dan kerjasama antar bangsa-bangsa
2. Untuk meningkatkan kerjasama dibidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
3. Untuk mempertimbangkan hal-hal yang merupakan kepentingan khusus bangsa-bangsa
4. Untuk memajukan kedudukan rakyat
BAB VI
P E N U T U P
Semenjak Uni Sovyet runtuh dan pecah terbagi menjadi beberapa Negara, Gerakan Non Blok terasa kurang relevansinya. Kejatuhan Uni Soviet tersebut kemudian diikuti dengan krisis politik yang melanda Negara-negara sekutunya di belahan Eropa Timur. Yugoslavia terpecah menjadi beberapa Negara, Jerman Barat bergabung dengan Jerman timur dan Negara-negara Eropa Timur lainnya melakukan reformasi politik dan ekonomi mengikuti fenomena sejarah yang terjadi saat itu.
Organisasi pertahanan Pakta Parsawa dibubarkan, bahkan beberapa Negara yang dulu bergabung didalamnya kemudian bergabung menjadi anggota NATO yang dulu merupakan pesaing beratnya. Fenomena ini menandai berakhirnya era perang dingin antara Blok Barat yang dikomandani AS dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Sovyet. Situasi politik internasional berubah drastis dengan menampilkan AS sebagai satu-satunya super power dunia.
Motivasi utama pendirian Gerakan Non Blok pada tahun 1961 adalah untuk menghindarkan perang serta memperkokoh perdamaian. Persaingan kekutan militer yang sangat tajam antara AS dan Uni Soviet menimbulkan kekhawatiran berbagai Negara bahwa kemungkinan akan pecah perang terbuka antara kedua pihak.
Untuk menyikapi keadaan tersebut beberapa Negara melakukan inisiatif dan memprakarsai sebuah gerakan yang diposisikan netral, tidak memihak serta tidak berada di kedua belah pihak. Pendirian GNB didasari oleh semangat Dasasila
Namun jika dikaji lebih dalam, surutnya peran GNB itu sebenarnya lebih bersifat di permukaan, Setelah berakhirnya era perang dingin, bukan berarti dunia terbebas dari konflik dan peperangan. Di beberapa Negara/wilayah, terjadi berbagai konflik baik bersifat local maupun regional. Perseteruan politik yang disertai dengan pergantian kepemimpinan nasional terjadi dibeberapa Negara Afrika. Bahkan peristiwa yang hampir sama juga dialami
Perang antara
Meskipun mayoritas anggota PBB yang berjumlah 196 negara merupakan anggota Gerakan Non Blok (144 negara), tetapi GNB tidak mempunyai “kekuatan”. Terbukti ketika akhirnya AS berhasil menyerang Irak dengan alasan Irak menyimpan senjata pemusnah massal. Padahal seperti diketahui, dalam KTT GNB ke-13 di
Negara anggota menghendaki GNB mengeluarkan satu resolusi yang secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana serangan AS tersebut. Pernyataan tersebut sangat penting untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa keberadaan GNB masih penting dan peranannya tidak dapat dikesampingkan. Kenyataannya resolusi GNB ini tidak bermakna karena AS tetap melancarkan aksinya di Irak.
Keadaan semacam ini harusnya menyadarkan Negara-negara anggota GNB bahwa tantangan yang dihadapi tidak berkurang bahkan semakin berat di masa depan.
**************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar