Menurut Anda, apakah Gus Dur pantas dianugerahi gelar Pahlawan Nasional?

Powered By Blogger

WELCOME TO ADI SANJAYA BLOG

Mari Kita Berpetualang Melewati Ruang dan Waktu Melalui Sebuah Pesona Perlawatan Sejarah

Rabu, 21 Oktober 2009

KOLONIALISME JEPANG DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika Serikat melancarkan embargo minyak bumi yang sangat mereka butuhkan, baik untuk kebutuhan industri Jepang maupun untuk keperluan perang. Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, pada tanggal 7 Desember 1941 akan menyerang secara mendadak basis armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbour di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan terhadap Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infanteri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbour.

Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pengebom torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbour ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain itu pengeboman Jepang tersebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbour. Tanggal 8 Desember 1941 Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.

Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna menduduki potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, sedangkan Sumatera sebagai sumber minyak utama. Pada bulan Januari 1942 terjadi pertempuran seru di Laut Jawa yang membawa keunggulan armada Jepang. Dalam bulan yang sama Ambon dan seluruh Maluku meskipun dipertahankan oleh 2.400 pasukan KNIL (Koninklijk Nederlans Indisch Leger) dan 1.000 pasukan Australia tetapi kekuatan Jepang tidan dapat dibendung. Sejak saat itulah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda digantikan oleh kekuasaan Dai Nipon. Untuk itulah perlu kiranya penulis membuat makalah ini agar kita sebagai generasi muda Indonesia mengetahui bagaimana perjuangan para pendahulu kita memperjuangkan Indonesia Merdeka, sehingga kita sampai sekarang masih bisa menikmatinya.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan antara lain :

1.2.1 Bagaimana latar belakang berkuasanya Jepang di Indonesia?

1.2.2 Bagaimana pendudukan Jepang di Indonesia dan kebijakan Jepang terhadap Indonesia?

1.2.3 Bagaimana pergerakan bangsa Indonesia terhadap pendudukan Jepang?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui latar belakang berkuasanya Jepang di Indonesia.

1.3.2 Untuk mengetahui pendudukan Jepang di Indonesia dan kebijakan Jepang terhadap Indonesia.

1.3.3 Untuk mengetahui pergerakan bangsa Indonesia terhadap pendudukan Jepang.

1.4 Manfaat

Manfaat yang dapat kita peroleh dari penulisan makalah ini adalah kita bisa mengetahui:

1.4.1 Latar belakang munculnya kekuasaan Jepang di Indonesia.

1.4.2 Pendudukan Jepang di Indonesia serta kebijakannya terhadap Indonesia.

1.4.3 Pergerakan bangsa Indonesia terhadap pendudukan Jepang.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Kekuasaan Jepang di Indonesia

Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam Sejarah Indonesia. Sebelum serbuan Jepang tidak ada satupun tantangan yang serius terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia (Ricklefs, 1991: 297).

Sebelum Jepang menaklukkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 8 Maret tanpa syarat, jepang terus menerus mengadakan propagadanya yang luas terhadap Indonesia. Radio Tokyo terus menerus mempropagandakan apa yang disebut cita-cita “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” yang dimulai dan ditutup dengan lagu Indonesia Raya (Materu, 1985: 119). Dan setelah Belanda merasa posisinya terancam di Indonesia, pada tanggal 8 Desember 1941 pukul 07.00 WIB, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang bernama Jhr. Mr. A.W.L. Tjarda Starkenborgh Stachouwer, mengumumkan perang kepada Jepang melalui radio yang mengatakan bahwa “wij zijn in oorlog met Japan” (Kita dalam keadaan perang dengan Jepang). Hindia Belanda termasuk di dalam A-B-C-D Front, yaitu singkatan dari American, British, Chinese, Dutch Front, dengan Jenderal Wafell (Inggris) sebagai panglima tertingginya yang berkedudukan dekat Bandung (Dekker, 1969: 107). Dan pada hari itu juga, hal yang paling ditakuti oleh Front itu terjadi, dimana pasukan Jepang menyerang Pearl Harbour, pusat pertahanan Amerika Serikat di Pasifik. Selama enam bulan sejak jatuhnya Pearl Harbour itu Jepang melakukan gerakan ofensif. Sejak itu pula serangan diarahkan ke Indonesia untuk melumpuhkan pasukan Hindia Belanda (Suhartono, 1994: 118).

Secara bertahap, dalam waktu empat bulan Jepang mampu menguasai Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Minyak dan karet yang merupakan bahan mentah untuk peperangan di Pasifik, adalah hal yang paling menarik bagi Jepang untuk menduduki Indonesia, di samping bahan-bahan mentah lainnya (Dekker, 1969: 108). Selain itu, Ricklefs (1991: 299-230) meyebutkan bahwa tujuan utama Jepang adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana-rencananya bagi dominasi ekonomi jangka panjang terhadap asia Timur dan Tenggara. Pada tanggal 15 Pebruari 1942, wilayah kebanggaan Inggris di Asia, yaitu Singapura, jatuh ke tangan Jepang. Dan dua minggu setelah jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, maka Jepang mulai segera menyerang Jawa. Tanggal 1 Maret dini hari, mereka mendarat di Jawa dan dalam waktu delapan hari, Letnan Jenderal Ter Poorten, panglima Tentara Hindia Belanda (KNIL), menyerah atas nama seluruh angkatan perang Sekutu di Jawa (Kahin, 1995: 129). Dan dalam bulan yang sama, didudukilah Pontianak, Makassar, Banjarmasin, Palembang dan Bali oleh tentara Jepang (Dekker, 1969: 109). Kemudian menyusul penguasaan jantung kekuasaan Belanda yaitu Batavia pada 5 Maret 1942, Bandung (8 Maret 1942).

Dengan menyerahnya Belanda kepada Jepang, maka berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia, dan digantikan oleh kekuasaan Jepang yang ternyata lebih kejam. Kedatangan Jepang pada umumnya diterima dengan penuh semangat. Rakyat percaya bahwa Jepang datang untuk memerdekakan, dan Jepang makin disenangi karena segera mengijinkan dikibarkannya bendera Merah Putih, dan dikumandangkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya, yang merupakan dua hal penting yang dilarang oleh Belanda (Kahin, 1995: 130).

2.2 Pendudukan Jepang di Indonesia dan Kebijakan Jepang terhadap Indonesia

Peristiwa Perang Pasifik telah mengantarkan Jepang ke bumi Indonesia. Pada tanggal 8 Desember 1941 pasukan Jepang menyerang Pearl Harbour, pusat pertahanan Amerika Serikat di Pasifik. Selama enam bulan sejak jatuhnya Pearl Harbour itu Jepang melakukan gerakan ofensif. Sejak itu pula serangan diarahkan ke Indonesia untuk melumpuhkan pasukan Hindia Belanda. Pada bulan Januari 1942 terjadi pertempuran seru di Laut Jawa yang membawa keunggulan armada Jepang (Suhartono, 1994: 118). Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 panglima tentara Hindia Belanda, Letjen H. Ter Poerten, menandatangani piagam penyerahan tanpa syarat di Kalijati kepada angkatan perang Jepang di bawah pimpinan Letjen Hitoshi Imamura. Sejak saat itu dengan resmi Indonesia berada di bawah kekuasaan bala tentara Jepang, dan Belanda telah kehilangan haknya atas Indonesia. Kedatangan Jepang ke Indonesia sedikit tidaknya telah menerapkan kebijakan untuk memperlancar penguasaannya di Indonesia. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut sebagai berikut.

a. Aspek Politik

Kebijakan pertama yang dilakukan Dai Nippon (pemerintah militer Jepang) adalah melarang semua rapat dan kegiatan politik (Tirtoprodjo, 1961: 56). Pada tanggal 20 Maret 1942 dikeluarkan peraturan yang membubarkan semua organisasi politik dan semua bentuk perkumpulan. Pada tanggal 8 September 1942 dikeluarkan UU No 2 Jepang mengendalikan seluruh organisasi nasional. Keluarnya Undang-undang tersebut, praktis menjadikan organisasi nasional yang pada saat itu sedang giat-giatnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia harus dilumpuhkan. Kita masih ingat perjuangan Parindra dan GAPI adalah Indonesia mulia dan sempurna serta berusaha untuk mempersatukan persepsi atau pandangan organisasi pergerakan nasional dengan cara menggabungkan beberapa organisasi. Sementara GAPI berjuang untuk mencapai kemerdekaan dengan jalan perjuangan melalui tuntutan Indonesia berparlemen. Tentu saja perjuangan Parindra dan GAPI akan membahayakan posisi Jepang yang baru saja menginjakkan kakinya di Indonesia. Dalam rangka menancapkan kekuasaan di Indonesia, pemerintah militer Jepang melancarkan strategi politisnya dengan membentuk gerakan 3A pada bulan April 1942 yang dipimpin oleh Mr. Rd. Samsudin dan berkedudukan di Jakarta (Kowani, 1986: 83). Sebenarnya dasar dari gerakan 3A ini adalah kesetiaan kesetiaan kepada Kaisar Jepang (Afandi, 1997:23).

Gerakan ini merupakan upaya Jepang untuk merekrut dan mengerahkan tenaga rakyat yang akan dimanfaatkan dalam Perang Asia Timur Raya. Berbagai propaganda akan dilakukan agar gerakan tersebut sukses dan Indonesia dapat meyakini bahwa Jepang adalah bangsa Asia yang memiliki kelebihan dan dapat diharapkan dapat membebaskan Indonesia dari penjajahan barat. Gerakan 3A dalam realisasinya tidak mampu bertahan lama karena rakyat Indonesia tidak sanggup menghadapi kekejaman militer Jepang dan berbagai bentuk eksploitasi yang dilakukan bahkan jika boleh mengistilahkan, “masih lebih baik dijajah oleh Belanda daripada dijajah Jepang”. Hal tersebut membuktikan kekejaman militer Jepang sulit tertandingi.

Ketidaksuksesan gerakan 3A, membuat Jepang mencari bentuk lain untuk dapat menarik simpati rakyat. Upaya yang dilakukan adalah menawarkan kerjasama dengan para pemimpin Indonesia untuk membentuk “Putera”. Melalui Putera diharapkan para pemimpin nasional dapat membujuk kaum nasionalis sekuler dan intelektual untuk mengabdikan pikiran dan tenaganya demi kepentingan perang dan melawan sekutu. Melihat peluang untuk melakukan perjuangan secara non kooperasi sulit dilakukan, akhirnya para pimimpin mencoba memanfaatkan peluang kerjasama tersebut, dengan harapan Putera dapat menjadi wadah untuk menggalang persatuan dan kesatuan dan menjadi kekuatan tersembunyi. Paling tidak Putera akan menjadi wadah untuk melakukan konsolidasi kekuatan minimal para pemimpin dapat berdialog dengan rakyat melalui sarana atau fasilitas yang dimiliki pemerintah Jepang.

Keberhasilan organisasi Putera tidak terlepas dari kemampuan para pemimpin serta tingginya kepercayaan rakyat Indonesia pada para tokoh nasional untuk memperjuangkan Indonesia merdeka. Indikasinya dapat kita lihat dari kemajuan organisasi Putera sampai ke berbagai daerah dan kemandirian Putera dalam menjalankan kegiatan operasional tanpa suntikan dana dari pemerintah Jepang. Meskipun Putera tidak mampu menghasilkan karya kongkrit bagi perjuangan pergerakan nasional namun dengan adanya Putera mentalitas bangsa Indonesia secara tidak langsung sudah dipersiapkan untuk dapat memperjuangkan proklamasi kemerdekaan. Hal serupa dapat kita lihat pada pembentukan organisasi militer PETA yang dibentuk berdasarkan Osamu Seirei No. 44 (Suwondo, 1996: 5). Langkah pendudukan selanjutnya Jepang membentuk Dinas Polisi Rahasia yang disebut Kempetai, bertugas mengawasi dan menghukum pelanggaran-pelanggaran terhadap pemerintah Jepang. Pembentukan Kempetai ini menyebabkan tokoh-tokoh pergerakan Nasional Indonesia memilih sikap kooperatif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena kekejaman Kempetai yang sangat terkenal. Diskriminasi politik tentara pendudukan juga ditetapkan untuk membedakan wilayah Jawa dengan luar Jawa. Untuk pulau Jawa, Jepang bersikap lemah karena pertimbangan jauh dari sekutu, sementara untuk luar Jawa sbaliknya mendapat kontrol atau pengawasan yang sangat ketat.

Selain itu, Jepang pun melakukan propaganda untuk menarik simpati bangsa Indonesia dengan cara :

1. Menganggap Jepang sebagai saudara tua bangsa Asia melancarkan semboyan 3A (Jepang Pemimpin, Jepang Cahaya dan Jepang Pelindung Asia).

2. Melancarkan simpati lewat pendidikan berbentuk beasiswa pelajar.

3. Menarik simpati umat islam untuk pergi haji.

4. Menarik simpati organisasi islam MIAI.

5. Mengajak untuk bergabung tokoh-tokoh perjuangan nasional, seperti Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta serta Sutan Syahrir, dengan cara membebaskan tokoh tersebut dari penahanan Belanda.

Selain propaganda, Jepang juga melakukan berbagai tindakan nyata berupa pembentukan badan-badan kerjasama seperti berikut:

1. Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dengan tujuan membujuk kaum nasionalis sekuler dan intelektual agar menyerahkan tenaga dan pikirannya untuk mengabdi kepada Jepang.

2. Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa), merupakan organisasi sentral dan terdiri dari berbagai macam profesi (dokter, pendidik, kebaktian wanita pusat dan perusahaan).

Penerapan sistem Autarki (daerah yang harus memenuhi kebutuhan sendiri dan kebutuhan Jepang). Sistem ini diterapkan di setiap wilayah ekonomi. Contoh: Jawa menjadi 17 daerah, Sumatera menjadi 3 daerah, dan Meinsefu (daerah yang diperintah angkatan laut) 3 daerah. Setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang di Kalijati maka seluruh daerah Hindia Belanda menjadi tiga daerah pemerintahan militer, yang dipegang oleh Angkatan Perang Jepang, yaitu Angkatan Darat (Rikugun) dan Angkatan Laut (Kaigun) dengan wilayah sendiri-sendiri. Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah militer antara lain sebagai berikut (Dekker, 1969:110; Ricklefs, 1991: 297).

v Jawa dan Madura, dengan pusat Batavia di bawah kekuasaan Rikugun.

v Sumatera, dengan pusat di Bukittinggi, tetapi kemudian digabungkan dengan Singapura (Shonanto) di bawah kekuasaan Rikugun.

v Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian, dengan pusat Makassar, di bawah pimpinan Kaigun.

Kedua angkatan perang ini (Rikugun dan Kaigun) selalu kelihatan ada persaingan dalam arti mengambil hati rakyat yang dijajah, lebih-lebih dalam waktu perang mendekati selesainya. Semua bagian wilayah bagian militer ini berada di bawah komando Panglima Besar untuk Asia Tenggara (Nanpoo Gun) yang berkedudukan di Saigon, dan Saigon baru langsung berhubungan dengan Tokyo. Rakyat wilayah jajahan Jepang, tunduk kepada Sri Baginda Yang Maha Mulia Tenno Heika, dengan singkatan J.M.M. Tenno Heika (kalau dulu sebutan terhadap raja Belanda ialah Sri Baginda Raja). Tenno Heika ini tidak lain dari Kaisar Hirohito.

b. Aspek Pemerintahan Militer

i. Struktur Pemerintahan Militer Masa Pemerintahan Jepang

Gunshireikan (Panglima Tentara)à Panglima Tertinggià Saiko Shikikanà Hitoshi Imamura

Gunbaikan (Kepala Pemerintahan Militer)à Kepala Staf Tentaraà Mayjen Seizaburo Okasaki

Gunseikanbu (Staf pemerintahan militer pusat), terdiri dari :

1. Somubu (departemen urusan umum)

2. Zaimubu (departemen keuangan)

3. Sangyobu (departemen perusahaan, industri kerajinan tangan dan ekonomi)

4. Kotsubu (departemen lalu lintas)

5. Shihobu (departemen kehakiman)

Gunseibu (koordinator pemerintahan militer setempat)à Gubernur, terdiri dari:

Jabar berkedudukan di Bandung

Jateng berjedudukan di Semarang

Jatim berkedudukan di Surabaya

ii. Struktur Pemerintahan Sipil pada Masa Pendudukan Jepang

Daerah Kota

Syu (Keresidenan) Syi (pemerintahan kota)

Syi/kotapraja Ken/Kabupaten Syucokan (pimpinan residen)

Gun (Kawedanan) Tokbetsusyi (daerah istimewa)

Son (asisten/kecamatan) Si-Co (Walikota)

Ku (Desa/kelurahan) Bunken (Sub Kabupeten)

Aza (dusun)

Gumi (RT)

Dari bagan di atas, tentang kebijakan pemerintah militer Jepang di bidang politik dan birokrasi, dampak yang dirasakan bangsa Indonesia antara lain terjadinya perubahan struktur pemerintahan dari sipil ke militer, terjadi mobilitas sosial vertikal (pergerakan sosial ke atas dalam birokrasi) dalam masyarakat Indonesia. Sisi positif yang dapat kita ketahui, bangsa Indonesia mendapat pelajaran berharga sebagai jawaban cara mengatur pemerintahan, karena adanya kesempatan yang diberikan pemerintah Jepang untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.

c. Aspek Ekonomi dan Sosial

Pada kedua aspek ini, Jepang melakukan praktek eksploitasi ekonomi dan sosial yang dilakukan Jepang terhadap bangsa Indonesia dan kita bisa membandingkan dampak ekonomi dan sosial dengan dampak politis dan birokrasi. Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem pengaturan ekonomi pemerintah Jepang adalah sebagai berikut :

1. Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang maka seluruh potensi sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil perkebunan, pabrik, bank dan perusahaan penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkalai akibat titik berat kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Kondisi tersebut menyebabkan produksi pangan menurun dan kelaparan serta kemiskinan meningkat drastis.

2. Jepang menerapkan sistem pengawasan ekonomi serta ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang. Pengendalian harga untuk mencegah meningkatnya harga barang. Pengawasan perkebunan teh, kopi, karet, tebu, dan sekaligus memonopoli penjualannya. Pembatasan teh, kopi dan tembakau, karena tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan perang. Monopoli tebu dan gula, pemaksaan penanaman pohon jarak dan kapas pada lahan pertanian dan perkebunan merusak tanah.

3. Menerapkan sistem ekonomi perang dan Autarki (memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kebutuhan perang). Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun material.

4. Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah. Dampak dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan menyerahakan bahan makanan 30 % untuk pemerintah, 30 % untuk lumbung desa dan 40 % menjadi hak pemiliknya. Sistem ini menyebabakan rakyat semakin sulit, gairah kerja menurun, kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah melanda hampir di setiap desa di pulau Jawa, salah satunya : Wonosobo (Jateng) angka kematian 53,7 % dan untuk Purworejo (Jateng) angka kematian mencapai 224,7 %. Bisa kita bayangkan bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia pada masa Jepang (bahkan rakyat dipaksa makan makanan hewan seperti keladi gatal, bekicot, umbi-umbian).

5. Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasa bertambah berat pada saat rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang memperhatikan. Pakaian rakyat compang-camping, ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak penyakit gatal-gatal akibat kutu dari karung tersebut. Adapula yang hanya menggunakan lembaran karet sebagai penutup.

Demikian bentuk praktek-praktek eksploitasi ekonomi masa pendudukan Jepang, yang telah begitu banyak menghancurkan sumber daya alam, menimbulkan krisis ekonomi yang mengerikan dan berakhir dengan tingginya tingkat kematian seperti yang terjadi juga pada bidang sosial di bawah ini, khususnya pergerakan sosial yang dilakukan pemerintah Jepang dalam bentuk Kinrohosi atau kerja bakti yang lebih mengarah pada kerja paksa untuk kepentingan perang. Luasnya daerah pendudukan Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga untuk mengerjakan semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui suatu sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha (Suhartono, 1994: 134). Romusha ini dikoordinir melalui program Kinrohosi/kerja bakti. Pada awalnya mereka melakukan dengan sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga diserahkan pada panitia pengerah (Romukyokai) yang ada di setiap desa. Banyak tenaga Romusha yang tidak kembali dalam tugas karena meninggal akibat kondisi kerja yang sangat berat dan tidak diimbangi oleh gizi dan kesehatan yang mencukupi. Kurang lebih 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan dan berakhir dengan kematian dari kurang lebih 300.000 tenaga Romusha yang dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Malaya dan Serawak. Sistem Romusha ini sebenarnya hanya merupakan kelanjutan dari apa yang dibuat orang Jepang di suatu tempat tertentu di Asia, seperti di Korea, Manchuria dan Cina yang mereka duduki (Jong, 1987: 60).

Kondisi sosial yang memprihatinkan tersebut telah memicu semangat Nasionalisme para pejuang PETA untuk mencoba melakukan pembrontakan karena tidak tahan menyaksikan penyiksaan terhadap para Romusha. Praktek eksploitasi/pengerahan sosial lainnya yang dapat kita ketahui adalah bentuk penipuan terhadap para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita penghibur (Jugun Ianfu) dan disekap dalam kamp tertutup. Dan ternyata tindakan ini merupakan kebijakan resmi pemerintah Jepang waktu itu, dengan alasan agar semua tentara Jepang lebih berkonsentrasi pada tugas-tugasnya di medan perang, maka perlu ada “wadah” untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya tanpa beresiko mengalami penyakit kelamin (Tahiro, 2003: 117). Para wanita ini diberi iming-iming pekerjaan sebagai perawat, pelayan toko, atau akan di sekolahkan, ternyata dijadikan pemuas nafsu untuk melayani prajurit Jepang di kamp-kamp: Solo, Semarang, Jakarta, Sumatera Barat. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak gadis yang sakit (terkena penyakit kotor), stress, bahkan ada pula yang bunuh diri karena malu. Adapun kebijakan pemerintah Jepang dibidang sosial yang dapat dirasakan manfaatnya seperti pembentukan Tonarigami (RT), satu RT kurang lebih 10-12 kepala keluarga. Pembentukan RT ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan memudahkan dalam mengorganisir kewajiban rakyat serta memudahkan pengawasan dari pemerintah desa.

Perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia terjadi pada masa pemerintahan Jepang berupa diterapkannya sistem birokrasi Jepang dalam pemerintahan di Indonesia sehingga terjadi perubahan dalam institusi/ lembaga sosial di berbagai daerah.

d. Aspek Kebudayaan

Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang pendidikan adalah menghilangkan diskriminasi/perbedaan siapa yang boleh mengenyam/ merasakan pendidikan. Pada masa Belanda, yang dapat merasakan pendidikan formal untuk rakyat pribumi hanya kalangan menengah ke atas, sementara rakyat kecil (wong cilik) tidak memiliki kesempatan.

Sebagai gambaran diskriminasi yang dibuat Belanda, ada 3 golongan dalam masyarakat :

1. kulit putih (Eropa)

2. timur asing (cina, india, dll )

3. pribumi

Pola seperti ini mulai dihilangkan oleh pemerintah Jepang. Rakyat dari lapisan manapun berhak untuk mengenyam pendidikan formal. Jepang juga menerapakan jenjang pendidikan formal seperti di negaranya yaitu : SD 6 tahun, SMP 3 tahun, dan SMA 3 tahun. Sistem ini masih diterapkan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini sebagai satu bentuk warisan Jepang. Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah penerapan sistem pendidikan militer. Sistem pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk kepentingan perang. Siswa memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan mampu menghafal lagu kebangsaan Jepang. Begitu pula dengan para gurunya, diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru wajib mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan.

Dengan melihat kondisi tersebut, kita akan mendapatkan dua sisi, yaitu kelebihan dan kekurangan dari sistem pendidikan yang diterapkan pada masa Belanda yang lebih liberal namun terbatas. Sementara pada masa Jepang konsep diskriminasi tidak ada tetapi terjadi penurunan kualitas secara drastis baik dari keilmuan maupun mutu murid dan guru. Kondisi di atas tidak terlepas dari target pemerintah Jepang melalui pendidikan Jepang melalui pendidikan, Jepang bermaksud mencetak kader–kader yang akan mempelopori dan mewujudkan konsep kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Satu hal yang paling menarik untuk dicermati adalah pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang agar masyarakat Indonesia terbiasa melakukan penghormatan kepada Tenno (Kaisar) yang dipercayai sebagai keturunan Dewa Matahari (Omiterasi Omikami). Sistem penghormatan kepada kaisar dengan cara membungkukkan badan menghadap Tenno, disebut dengan Seikeirei. Penghormatan Seikerei ini, biasanya diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang (Kimigayo). Tidak semua rakyat Indonesia dapat menerima kebiasaan ini, khususnya dari kalangan Agama. Penerapan Seikerei ini ditentang umat Islam, salah satunya perlawanan yang dilakukan KH. Zainal Mustafa, seorang pemimpin pondok pesantren Sukamanah Jawa Barat. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Singapura.

Ada hal yang harus diketahui dari kebijakan pemerintah Jepang di bidang budaya yakni berkembang tradisi kerja bakti secara massal melalui kinrohosi/tradisi kebaktian di dalam masyarakat Indonesia. Adapun tradisi kebaktian, kerja keras dan ulet dalam mengerjakan tugas. Nilai tradisi Jepang dan kemiliterannya melalui semangat Bushido (semangat ksatria Jepang akan dapat Anda ketahui dari analisa aspek militer).

e. Aspek Kehidupan Militer

Pada aspek militer ini, kita akan memahami bahwa badan–badan militer yang dibuat Jepang semata–mata karena kondisi militer Jepang yang semakin terdesak dalam perang Pasifik. Memasuki tahun kedua pendudukannya (1943), Jepang semakin intensif mendidik dan melatih pemuda–pemuda Indonesia di bidang militer. Hal ini disebakan karena situasi di Medan pertempuran (Asia-Pasifik) semakin menyulitkan Jepang. Mulai dari pukulan sekutu pada pertempuran laut di Midway (Juni 1942) dan sekitar Laut Karang (Agustus’42–Februari 1943). Kondisi tersebut diperparah dengan jatuhnya Guadalacanal yang merupakan basis kekuatan Jepang di Pasifik (Agustus 1943). Situasi di atas membuat Jepang melakukan konsolidasi kekuatan dengan menghimpun kekuatan dari kalangan pemuda dan pelajaran Indonesia sebagai tenaga potensial yang akan diikutsertakan dalam pertempuran menghadapi Sekutu.

Bentuk – bentuk barisan militer yang dipersiapkan oleh jepang antara lain :

1. Pada 9 Maret 1943 didirikan gerakan Seinendan (Barisan Pemuda). Pelantikannya dilakukan 29 April 1943, dengan anggota kurang lebih 3500 pemuda. Tujuannya untuk melatih dan mendidik para pemuda, agar mempu menjaga dan mempertahankan tanah air dengan kekuatan sendiri. Persyaratan untuk menjadi Seinendan adalah : pemuda berusia 14 – 23 tahun.

2. Pembentukan Barisan Pelajar (Gokutai) untuk pelajar SD-SLTA

3. Pembentukan Barisan Bantu Polisi (Keibodan) pada tanggal 29 April 1943, dengan syarat yang lebih ringan dari Seinendan. Untuk Keibodan ini ada keharusan untuk setiap desa (ku) yang memiliki pemuda dengan usia 23-25 tahun dan berbadan sehat wajib menjadi Keibodan. Sistem pengawasan Keibodan ini diserahkan pada Polisi Jepang.

4. Pembentukan barisan pembantu Prajurit Jepang (Heiho) pada bulan April 1943. Anggota Heiho adalah pemuda berusia 18-25 tahun, dengan pendidikan terendah SD. Mereka akan ditempatkan langsung pada angkatan perang Jepang (AL-AD). Walaupun berstatus membantu prajurit tetapi mereka dilatih untuk mampu menggunakan senjata dan mengoperasikan meriam-meriam pertahanan udara. Bahkan saat perang semakin hebat mereka diikutsertakan bertempur ke front di Solomon dan tempat lain. Di sinilah para pemuda kita mendapat tempat latihan militer yang sesungguhnya dengan kemampuan yang tinggi.

5. Pembentukan Barisan Semi Militer khusus direkrut dari golongan Islam dengan nama Hizbullah (Tentara Allah) diantaranya tokoh Otto Iskandinata dan Dr. Buntaran Martoatmojo.

6. Pembentukan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) pada tanggal 3 Oktober 1943 dilakukan oleh Letjen Kumakici Harada melalui Osamu Seirei No. 44 yang mengatur tentang pembentukan PETA. Pembentukan PETA ini adalah hasil pencerminan Jepang terhadap Perancis saat menguasai Maroko dengan memanfaatkan pemuda Maroko sebagai tentara Perancis. Tentara Sukarela PETA adalah pelopor dari semua latihan-latihan kemiliteran yang telahmemegang peran yang sangat penting dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (Suwondo, 1996: 39). PETA berada di bawah pimpinan empat serangkai yang terdiri dari Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. Mas Mansyur serta berpusat di Jakarta (Kowani, 1986: 84).

7. Pembentukan Jawa Hokokai. Memasuki tahun 1944 kondisi Jepang bertambah buruk. Satu per satu wilayahnya berhasil dikuasai Sekutu, bahkan serangan langsung mulai diarahkan ke negeri Jepang sendiri. Melihat kondisi tersebut pada tanggal 9 September 1944 Perdana Menteri Kaiso mendeklarasikan janji kemerdekaan untuk Indonesia di kemudian hari. Janji ini semata-mata untuk memotivasi bangsa Indonesia agar tetap setia membantu perjuangan militer Jepang dalam menghadapi Sekutu. Beberapa hari sesudah janji kemerdekaan dibentuklah Benteng Perjuangan Jawa (Jawa Sentotai) yang merupakan badan perjuangan dalam Jawa Hokokai, bahkan organisasi lainpun selanjutnya dibentuk seperti barisan Pelopor (Suisyintai) dipimpin langsung oleh Ir. Soekarno, Sudiro. RP. Suroso, Otto Iskandardinata dan Dr. Buntaran Martoatmojo.

Melalui bentuk-bentuk pelatihan militer di atas, kita akan memahami sisi positif dan negatif yamg dapat dirasakan para pemuda Indonesia. Para pemuda kita tidak hanya dilatih kemampuan dan keterampilan militernya dalam menggunakan senjata tetapi sikap dan mental merekapun tanpa sadar dibentuk dengan suatu semangat Bushido (sikap para ksatria militer Jepang) baik disiplin, keuletan/daya juang yang tinggi, kerja keras, jujur dan berani menghadapi tantangan serta memiliki tanggung jawab. Sikap mental yang seperti ini akan menjadi kekuatan tersendiri dari para pemuda Indonesia dalam menghadapi kekejaman tentara Jepang seperti dalam pemberontakan PETA. Di sisi lain akan menjadi bekal dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi tentara Sekutu, baik yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat maupun yang akan menjadi tentara Inti Republik Indonesia.

2.3 Pergerakan bangsa Indonesia terhadap pendudukan Jepang

Salah satu dampak pendudukan Jepang di bidang politik yaitu bagaimana sulitnya,ruang gerak organisasi pergerakan nasional yang sedang berada di puncak perjuangan di masa kolonial Belanda, terpaksa harus dibubarkan karena kebijakan pemerintah Jepang yang melarang semua organisasi politik. Sebagai gantinya Jepang membentuk organisasi-organisasi yang diarahkan untuk kepentingannya seperti Gerakan 3A, Putera, PETA dan lain-lain, sebagai suatu bentuk organisasi legal bagi pemerintah kolonial Jepang. Namun selain itu juga terjadi suatu bentuk perlawanan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia (Dekker, 1969:115-116). Perlawanan-perlawanan itu antara lain:

a. Golongan Amir Syariffudin; Amir sejak dari Gerindo dulu adalah orang yang anti fasisme. Ternyata hal itu telah diketahui oleh Jepang. Pada tahun 1943 ia ditangkap, dan pada tahun 1944 akan dihukum mati, tetapi kemudian dihukum seumur hidup.

b. Golongan Sutan Sjahrir; golongan ini mempunyai pengikut kaum terpelajar dari berbagai kota. Gerakan ini mempunyai cabang-cabang di Jakarta, Cirebon, Garut, Surabaya dan lain-lain.

c. Golongan Persatuan Mahasiswa; mereka ini adalah kebanyakan dari mahasiswa kedokteran di Jakarta. Pada tahun 1942 mereka memprotes karena mereka diharuskan bercukur gundul. Bahkan mereka melakukan pemogokan di sekolahnya. Golongan ini dengan terang-terangan menunjukkan sikap anti Jepang. Golongan ini juga banyak melakukan kerjasama dengan Sjahrir. Pengikut-pengikutnya antara lain seperti : J. Kunto, Supeno, Subandrio dan lain-lain.

d. Golongan Sukarni; yang termasuk dalam golongan ini ialah: Adam Malik, Pandu Wiguna, Chaerul Saleh, Maruto, Nitimiharjo. Golongan ini sangat besar peranannya di sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia.

e. Golongan Kaigun; golongan ini dipimpin oleh Subardjo, SH. Yang termasuk golongan ini ialah: Maramis, SH, Dr. Samsi, Dr. Buntran, Gatot, SH, dan lain-lain. Golongan Kaigun ini kemudian mendirikan asrama pemuda, yang bernama “Asrama Indonesia Merdeka”, dengan Wikana sebagai ketuanya. Para pengajarnya antara lain seperti Soekarno, M. Hatta dan Sjahrir.

Di antara golongan-golongan tersebut terjadi pula kerjasama secara terbatas satu sama lain. Adanya golongan-golongan ini semata-mata disebabkan oleh adanya situasi yang tertekan yang penuh dengan ancaman-ancaman dari polisi rahasia (Kempetei) Jepang dan kaki tangannya. Bentuk-bentuk perlawanan itu banyak memakai selubung agar tidak diketahui oleh lawan yang sedang bertindak dengan ganasnya.

Selain perlawanan-perlawanan dari tokoh-tokoh tersebut, adanya penderitaan rakyat akibat dari pemerintahan Dai Nippon juga menyebabkan munculnya pemberontakan-pemberontakan dari rakyat. Pemberontakan-pemberontakan itu antara lain:

a. Di Aceh pada tahun 1942, ketika awal pendudukan Jepang di Indonesia, terjadi pemberontakan di Lhokseumawe di bawah pimpinan Tengku Abduljalil. Pemberontakan-pemberontakan ini dapat dipatahkan. Elemen-elemen perlawanan di sini sangat laten, sehingga pada tahun 1944 meletus kembali pemberontakan di Meureudu di bawah pimpinan Teuku Hamid, namun juga dapat dipatahkan oleh Jepang.

b. Di Karangampel, Sindang (Kabupaten Indramayu) pada tahun 1943 di bawah pimpinan Haji Madrias.

c. Di Sukamanah (Kabupaten Tasikmalaya ) pada tahun 1944 di bawah pimpinan Kyai Z. Mustofa. Banyak orang Jepang dan kaki tangannya dibunuh oleh rakyat dalam pemberontakan ini.

d. Di Blitar pada tanggal 14 Pebruari 1945 terjadi pemberontakan PETA di bawah pimpinan Supriadi. Orang-orang Jepang yang ada di Blitar dibinasakan sama sekali. Pemberontakan ini benar-benar sangat mengejutkan Jepang, lebih-lebih pada saat itu Jepang terus mengalami kekalahan dalam pertempuran di Samudera Pasifik. Jepang kemudian mengepung kedudukan Supriadi dan akhirnya terjadi pertempuran.

Setelah sekian lama Jepang berkuasa di Indonesia, akhirnya juga mengalami suatu ancaman dari Amerikan Serikat. Setelah Amerikan mengalami kekalahan sementara terhadap Jepang, kemudian negeri itu memperbaiki dirinya dan segera mengadakan serangan-serangan pembalasan. Australia merupakan tempat pelarian baik bagi Belanda maupun Amerika Serikat, yang dulunya bertahan di Filiphina. Dari Australia Amerika Serikat menyusun serangan di bawah pimpinan Jenderal Mac Arthur dan Laksamana Chester Nimitz. Pengeboman mulai dilakukan di tempat-tempat militer yang strategis, seperti Irian dan Morotai (Maluku). Sampai akhir tahun 1944, kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik sudah sangat terdesak.

Pada tanggal 9 September 1944, Perdana Menteri Koiso memberikan janji “kemerdekaan di kelak kemudian hari” kepada rakyat Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 1 Maret 1945 Panglima Tentara Keenembelas Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan dibentuknya Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau yang dalam bahasa Jepang disebut sebagai Dokuritsu Junbi Cosakai. Badan ini bertujuan untk mempelajari hal-hal penting mengenai masalah tata pemerintahan Indonesia Merdeka. Anggotanya berjumlah 67 orang, dimana K.R.T. Rajiman Widioningrat sebagai ketuanya (Nugroho Notosusanto, 1992: 121-122). Untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang penyelenggaraan kemerdekaan itu, Bung Karno, Bung Hatta dan Dr. Rajiman diminta datang ke Saigon pada tanggal 9 Agustus 1945. Tetapi ketika bom atom yang kedua meledak di kota Nagasaki, Jepang tak ada kesempatan dan tidak punya kekasaan lagi untuk memikirkan nasib bangsa lain, termasuk Indonesia. Kondisi vacuum of power ini memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan dan lepas dari belenggu penjajahan (Kansil dan Julianto, 1968: 43).

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut.

a. Pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 setelah berakhirnya Perang Pasifik.

b. Kedatangan Jepang ke Indonesia mengusung Gerakan 3A, yakni Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia dan Nippon Pelindung Asia.

c. Jepang di Indonesia memberikan penderiataan yang sangat mendalam bagi rakyat Indonesia karena Jepang mengeksploitasi secara besar-besaran penduduk Indonesia dan sekitarnya, baik dari segi militer, ekonomi bahkan sosial budaya.

d. Kekejaman Jepang tersebut membuat rakyat Indonesia menderita dan melakukan perlawanan yang dimotori oleh PETA dan Putera yang merupakan bentukan dari Jepang

2. Saran

Sebagai mahasiswa kita wajib mengetahui bagaiamana perjalanan bangsa kita dalam mencapai kemerdekaan, karena kemerdekaan dicapai dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Kita perlu mengetahui hal tersebut agar kita tidak mengulang kembali kesahan-kesalahan terdahulu di masa kini dan agar kita bisa menghargai serta menghormati sejarah dan pengorbanan para pendahulu kita.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, J. Roestam. 1997. Bung Tardjo Pejuang Tanpa Pamrih. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Astuti, dkk. 2003. Inventarisasi Sumber Sejarah Mulai 1942-1945. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata

Dekker, Drs. I Nyoman. 1969. Sedjarah Indonesia Baru:1900-1945. Malang: IKIP Negeri Malang

Jong, L.De.1987.Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Kesaint Blanc

Kahin, George Mc Turnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Semarang: Pustaka Sinar Harapan

Kansil, C.S.T dan Julianto, Drs.,M.A.1968.Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Erlangga: Jakarta

Kongres Wanita Indonesia (Kowani).1986.Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Materu, Mohamad Sidky Daeng,.S.H. Sejarah Pergerakan asional Bangsa Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung

Notosusanto, Nugroho, dkk. 1993. Sejarah Nasional Indonesia 3. Jakarta: Depdikbud

Rasyidi, Drs. Khalid. 1979. Pengalaman Berjuang Jaman Jepang sampai Proklamasi. Jakarta: Yayasan Idayu

Rose, Mavis. 1991. Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Ricklefs, M.C.1991.Sejarah Indoesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada Press

Suhartono,Dr. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suwondo, Purbo S. 1996. PETA: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa dan Sumatera 1942-1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Tahiro.2003.Sepak Terjang Jepang di Indonesia. Jakarta: Lembaga Humaniora

Tirtoprodjo, Susanto.,Drs.,S.H. 1982. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT Pembangunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar